hadisttarbawi tujuan pendidikan. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim, lalu apa sebenarnya tujuan kita menuntut ilmu. Salah satu tujuan pendidikan islam adalah menjadikan seorang bertaqwa dan berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan tujuan nasional pendidikan Negara kita, dimana tujuan pendidikannya adalah menciptakan manusia yang
1. Apa yang menjadi obyek kajian ilmu pendidikan ? Yang menjadi objek kajian ilmu pendidikan adalah pertumbuhan dan perkembangan anak didik dalam dunia pendidikan mulai dari anak usia dini hingga dewasa. Meliputi tahap - tahap sesuai perkembangan anak didik , kemampuan yang dimiliki anak didik, serta pengembangan kecerdasan jamak hingga permasalahan - permasalahan yang di alami dalam melakukan kegiatan pendidikan. 2. Apa yang dimaksud transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture? bagaimana hubungan ketiganya? >Transfer of knowledge pendidikan merupakan proses yang di berikan dalam bentuk ilmu pengetahuan. >Transfer of Value pendidikan yang dilakukan dengan cara pemberian nilai terhadap anak didik, dimana ilmu yang mereka miliki itu sangatlah berharga. >Transfer of Culture pendidikan yang dilakukan atau yang di sampaikan memiliki unsur budaya, sehingga anak didik bisa melestarikan kebudayaan. Dengan tujuan agar kebudayaan itu tidak akan hilang di telan masa. Jadi, hubungan antar ketiganya yaitu sama – sama suatu proses pendidikan yang memiliki tujuan agar dapat mengubah perilaku individu atau kelompok menjadi manusia yang seutuhnya. Utuh yang di maksud itu, manusia yang memiliki wawasan luas. 3. Apa maksud dari pernyataan Pendidikan Merupakan Kebutuhan yang Kodrati bagi Manusia? Maksudnya bahwa pendidikan itu merupakan suatu kebutuhan pokok yang dibutuhkan manusia untuk hidupnya kedepan. Tujuan pendidikan bagi manusia itu bisa digunakan sebagai tolak ukur batas kemampuan yang dimilikinya.
Visi Misi dan Tujuan Program Studi Pendidikan Agama Islam a. Visi Sejalan dengan visi Universitas, visi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Riau Kepada mahasiswa Thailand agar meningkatkan pemahaman tentang metode tanya jawab supaya kemampuan komunikasinya lebih baik. 2. Kepada dosen untuk
Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan Gambar dirubah seperlunya Skema tersebut menggambarkan bahwa yang dimaksud PAI di sini ialah kegiatan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sedangkan PAI di Pendidikan Anak Usia Dini PAUD pada umumnya tidak terlalu ditekankan dalam berbagai pembahasan karya tuli. Padahal, pembahasan secara khusus tentang PAI di PAUD secara detail, seperti halnya pada jenjang pendidikan lain pesantren, madrasah, sekolah, dan PTAI sangat penting. Meskipun, untuk PAUD dalam pasal 14 Undang-undang Sisdiknas 2003 tidak disebutkan sebagai salah satu jenjang pendidikan formal akan tetapi ia tidak bisa diabaikan begitu saja. Dijelaskan bahwa “Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.” Diperjelas dalam pasal 26 ayat 3 bahwa “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Namun, kenyataannya di pasal 28 ayat 2 juga dijelaskan “Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.”[4] Hal ini bukan berarti jenjang pendidikan usia dini tidak penting. Bagaimanapun, kajian tentang pengembangan PAI pada PAUD secara istemewa dibutuhkan kajian tersendiri. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan Pendidikan Agama Islam berarti suatu proses kerja cermat untuk merubah hal-hal yang terkait dengan produk konsep dan benda atau karya manusia dalam membangun pendidikan Islam agar menjadi lebih baik pada segala aspeknya dan lebih luas pengaruh maupun kemanfaatannya dari sebelumnya. Artinya, yang dirubah dalam pembangunan PAI di sini bukan teks-teks redaksi sumber dan landasan pokoknya yaitu al Quran dan Hadith. Akan tetapi salah satunya melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman ilmuwan ulama. Khususnya tafsir ulama “pendidikan” terdahulu terhadap teks-teks yang tidak lagi relevan dengan modernitas. Atau sebaliknya, “menemukan” atau merevitalisasi[5] pemahaman dan praktik ilmuwan terdahulu yang ditinggalkan oleh ilmuwan pendidikan sakarang tapi sangat relevan dengan hari ini. Dengan demikian suatu pengembangan bukan hanya sebuah akibat tapi juga bisa menjadi sebab. Serta adanya pengembangan tidak hanya untuk memperbaiki sesuatu yang ada tapi juga untuk mencegah hal-hal negatif. Lebih dari itu, pengembangan PAI menyangkut ketercapaian Indonesia bisa menjadi negara maju merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam sistem pendidikan Nasional. Dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia tidak akan bisa lepas dari kebudayaan umat Islam, utamanya masalah pendidikan Islam. Asumsinya, pendidikan termasuk pendidikan Islam punya andil besar dalam mewujudkan peradaban unggul bangsa. Bila ditilik dari tinjauan sejarahnya pun ternyata dinamika Pendidikan Islam berjalan secara menakjubkan. Dimulai dari masa kelahirannya hingga tumbuh kembang, lalu terjadilah masa kemajuan Pendidikan Islam. Di mana pada masa kejayaan itu pendidikan Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar yang berpengaruh bagi negaranya. Bahkan juga berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern Barat. Meski, setelah itu karena minimnya daya intelektualitas dan ide “pengembangan” menyebabkan pendidikan Islam memasuki masa kemundurun. Baru pada sekitar awal abad 20-an akhirnya terdapat tanda-tanda spirit kebangkitan pendidikan Islam melalui beberapa pengembangan yang dilakukan hingga sekarang ini. Pada dasarnya, pengembangan PAI diperlukan bagi umat Islam dan bangsa Indonesia untuk mencetak generasi unggul. Yakni, unggul sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing, salah satu contohnya dalam bidang sosial atau kealaman. Dengan pengembangan tersebut, PAI bisa membangkitkan kejayaan kemajuan pendidikan Islam. Tentu yang dibangkitkan ialah semangat keilmuan, keintelektualitasan, dan hasilnya bisa mencerahkan[6] bagi masyarakat lain. Dari itu, PAI akan terus-menerus mencetak ilmuwan yang mampu melahirkan IPTEK berlandaskan Islam. Salah satu fungsinya sebagai penyeimbang IPTEK sekuler yang pergerakannya semakin liar. Dalam artian, pengembangan IPTEK sekuler telah meningkatkan potensi dehumanisasi. Selain juga, ke depannya PAI dapat menciptakan situasi sosial-politik –khususnya di Indoneisa— menjadi lebih kondusif untuk mewujudkan keamanan, kedamaian, keadilan, meminimalisir kemiskinan, dan tercapainya kesejahteraan. Lebih terperinci, pengembangan PAI pada setiap jenjang dan bentuk pendidikan Islam semakin mendesak untuk dilakukan. Mengingat, terdapat beberapa permasalahan yang tak terbendung lagi dan perlu ditanggulangi pada akhir-akhir ini. Misalnya, pertama masalah politik seperti korupsi, politik uang, nepotisme, kecurangan pemilu maupun pilkada, dan pejabat partisan yang hanya peduli pada sebagian kelompok masyarakat. Kedua masalah ekonomi meliputi terjadi jurang kesenjangan antara rakyat miskin dengan kaum borjuis, lapangan kerja yang minim, dan kurangnya semangat pemuda dalam berwirausaha. Ketiga masalah sosial-kemasyarakatan mencakup perilaku seks bebas maupun seks menyimpang, maraknya ayam kampus, kasus mutilasi, kasus kekerasan hingga terorisme, dan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan alam. Keempat masalah keilmuan terdiri dari minimnya ilmuwan pengetahuan umum yang menghayati agamanya dalam menciptakan teknologi, minimnya penciptaan-penciptaan yang bisa bermanfaat bagi kemajuan bangsa, dan masih ada kecenderungan dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum. Kelima, masalah “pergesekkan” antar ormas Islam yang menjurus pada hal-hal negatif, seperti perpecahan. Padahal semestinya gesekan tersebut bisa mengarah positif, yaitu dalam bingkai berlomba-lomba dalam bidang kebaikan dan takwa. Di mana tidak bisa tidak energi umat Islam bukan dihabiskan untuk “melawan” umat Islam sendiri. Namun, untuk berlomba-lomba mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga bisa bermanfaat bagi umat Islam pada khususnya dan tentunya untuk rakyat Indonesia lainnya. Dari pernyataan di atas, pengembangan PAI merupakan salah satu bentuk nyata penyokong pengembangan kebudayaan di masyarakat. Artinya, untuk sekian kali ditekankan PAI sudah semestinya berkonstribusi dalam membangun kebudayaan unggul. Yakni, salah satunya kebudayaan yang bercirikan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan, cinta damai, berkarya serta mengabdi bagi masyarakat, dan inspiratif. Dengan asumsi, suatu pengembangan budaya dalam bidang apapun itu tidak akan bisa lepas dari perkembangan budaya dalam bentuk atau bidang lainnya di masyarakat. Baik budaya yang berwujud “ide atau gagasan” seperti penggunaan bahasa dalam komunikasi, maupun berwujud “benda” seperti teknologi berwujud telepon seluler. Dengan kata lain, pengembangan PAI terjadi karena dipengaruhi oleh perkembangan budaya lainnya, begitu pula sebaliknya. Misalnya, merebaknya budaya “melek” teknologi informasi menyebabkan generasi muda mampu menerima informasi dengan cepat dan mudah. Hal tersebut menuntut adanya pengembangan PAI berbasis teknologi informasi. Sebaliknya, dengan adanya pengembangan PAI berbasis teknologi informasi, maka bisa menggugah para ahli teknologi informasi maupun ilmuwan terkait untuk semangat dalam menciptakan media dan sumber pembelajaran PAI yang canggih. Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan PAI merupakan gagasan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan bila dilakukan dengan konsisten tetap berlandaskan pada al Quran dan Hadith bisa mencapai derajat “keutuhan” dalam beragama. Pengembangan PAI juga menjadi faktor penting bagi kesuksesan mewujudkan kemajuan negara Indonesia. Mengingat, kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural dan senantiasa rentan dengan gesekan-gesekan. Dapat dikatakan, pengembangan PAI menjadi langkah penting untuk tercapainya tujuan pendidikan Nasional. Terlebih, PAI merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Selain itu, dengan adanya pengembangan akan bisa memudahkan pendidik, peserta didik, serta seluruh manusia yang peduli dan terlibat pendidikan Islam dalam mewujudkan tujuan PAI. Oleh karena itu, pengembangan PAI dimaksudkan tidak hanya untuk mengatasi permasalahan, akan tetapi juga bisa memberikan pencegahan terhadap masalah yang berpotensi terjadi. Seorang pendidik PAI idealnya secara adaptif dan kreatif bisa melakukan pengembangan Pendidikan Agama Islam. Hal ini sangat penting karena merekalah yang sering berinteraksi dengan peserta didik, sehingga tidak mustahil mereka bisa mengetahui keadaan pendidikan Islam di lapangan secara utuh. Asumsinya, masukan atau anjuran dari pemerintahan pusat bahkan kadang di pemerintahan daerah sekalipun belum tentu cocok untuk diaplikasikan di ranah “nyata.” Begitu pula masukan dari ilmuwan Pendidikan Islam, dari tokoh agama, maupun dari pengkonsep lainnya belum tentu bisa menyelesaikan masalah secara baik dan komprehensif di satuan lembaga.[7] Bisa dikatakan, pendidiklah figur sejati pengembangan PAI. Oleh karena itu, sosok pendidik sudah seharusnya bisa menjadi panutan di segala hal dan bidang positif. Utamanya teladan dalam sikap progesif atau dinamis, sehingga selalu terbuka untuk menghadapi dan mengantisipasi perubahan. Bahkan bila perlu menuju level lebih tinggi, yaitu mengadakan “tandingan” pengembangan yang jauh lebih positif. Sudah barang tentu, untuk mengadakan pengembangan eloknya pendidik mengembangkan keterampilan dan kompetensinya. Salah satunya, kemampuan dalam penelitian –terutama kemampuan menganalisis masalah— sehingga bisa menyelesaikan secara praktis permasalahan pendidikan.[8] Selain juga, pendidik mampu bekerja sama dengan seluruh manusia yang ada di dalamnya untuk menyukseskan program pengembangan tersebut. Dapat dikatakan, pengembangan pendidikan Islam tidak lain merupakan hasil dari proses controlling dalam mewujudkan harapan yang diinginkan. Artinya, apabila suatu upaya terkait dengan pendidikan Islam dirasa tidak “ampuh” lagi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien maka sudah barang tentu suatu pengembangan mesti dilakukan. Namun, kadangkala suatu pengembangan di lembaga tidak serta merta bisa dilakukan oleh seorang pendidik atau sekelompok pendidik. Suatu pengembangan mesti menjadi program yang disepakati dan dijalankan bersama oleh seluruh civitas pendidikan melalui peran mereka masing-masing. Dengan kata lain, suatu pengembangan tidak boleh dilakukan secara serampangan, tidak asal melakukan pengembangan, dan harus berorientasi pada tujuan konkrit. Dalam setiap pengembangan PAI yang dilakukan juga wajib melihat landasan rambu-rambu baik yang bersifat formal Undang-undang, peraturan pemerintah, dll maupun nonformal adat istiadat, kearifan lokal, kondisi manusia, dll. Di antara landasan formalnya adalah pertama untuk semua jenjang dan bentuk pendidikan Islam landasannya terdiri dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Amandemen IV, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendididikan Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dll. Kedua untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi Peraturan Menteri Agama RI No. 90 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Peraturan Menteri Agama RI No. 29 tahun 2014 tentang Kepala Madrasah, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia 211 tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, dll. Ketiga untuk jenjang Pendidikan Tinggi mencakup Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembanan Kepribadian di Perguruan Tinggi, dll. Keempat Undang-undang dan peraturan yang tidak terkait secara langsung dengan pendidikan tapi juga penting sebagai dasar pengembangan PAI diberbagai bidang, seperti 1 Bidang kesosialan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Undang-undang No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On the Rights of Persons with Disabilities Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas, Undang-undang No. 13 tahun 2011 tentang Penangan Fakir Miskin, Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-undang no. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, dll. 2 Bidang kealaman lingkungan Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, Undang-undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantas Perusakan Hutan, dll. 3 Bidang administrasi Undang-undang No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-undang No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, Undang-undang No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan, dll. Serta tentunya Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah lainnya yang relevan dengan pengembangan PAI. Adapun landasan nonformalnya yaitu pertama landasan filosofis[9] yang melingkupi berorientasi pada kearifan lokal al urf atau local wisdom, tidak ada dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum, semua manusia punya hak sama dan seimbang untuk berkembang, proses pengembanan bersifat fleksibel sehingga selalu terbuka untuk penyempurnaan, dll. Kedua landasan psikologis mencakup manusia mempunyai kebutuhan kejiwaan yang tidak boleh dilanggar, manusia mempunyai kecerdasan kemampuan yang berbeda dalam menghadapi kehidupan, manusia secara umum memerlukan pengakuan dan perlakuan secara wajar dalam komunitasnya, dll. Ketiga landasan sosiologis meliputi peristiwa terbaru yang sedang terjadi di mayarakat, kondisi makro sosial masyarakat, dinamika kehidupan masyarakat, dll. Keempat landasan historis, terdiri atas meneruskan cita-cita mulia para ulama dan pahlawan terdahulu, memperbaiki kekurangan yang masih belum terselesaikan di masa lalu, mengacu pada tujuan Islam maupun tujuan didirikannya negara Indonesia, dll. Selain landasan formal dan nonformal, pengembagan PAI perlu memperhatikan prinsip-prinsip yang tidak kalah penting. Di antaranya merupakan sebagai berikut 1 Setiap pengembangan yang dilakukan tidak menyebabkan permasalah baru di bidang lain. Misalnya, pengembangan SDM pendidik dengan bentuk memberikan pelatihan dan penaikan gaji –karena caranya tidak tepat dan pilih kasih— menyebabkan kecemburuan sosial antar pegawai sehingga menimbulkan ketidaknyamanan hingga timbul perpecahan. 2 Setiap pengembangan dilakukan tidak untuk tujuan oportunis-pragmatis. Misalnya, untuk “mengenyangkan” perutnya sendiri atau kelompoknya sehingga terjadi missing link ketidakpaduan tujuan antar pengembang PAI dalam lingkup yang lebih besar lagi. 3 Setiap pengembangan tentu peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. 4 Setiap pengembangan harus relevan dengan kebutuhan kehidupan masa kini, bahkan bila perlu untuk beberapa tahun yang akan datang. 5 Setiap pengembangan yang berhasil dilakukan tidak boleh merasa puas dan berhenti sampai di situ, karena pengembangan PAI merupakan proses yang terus berjalan sepanjang hayat. Sebagaimana prinsip long life education dalam memaknai hidup ini. 6 Adanya keseimbangan antara kepentingan umat Islam dengan kepentingan nasional. 7 Pengembangan tidak hanya untuk memecahkan masalah, akan tetapi untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas kehidupan manusia. 8 Terus-menerus mengadakan kontrol dan evaluasi pada setiap pengembangan yang dilakukan. 9 Pengembangan PAI merupakan bagian dari rekayasa sosial. Oleh karena itu, ia dihadapkan pada beberapa pilihan. Yakni, terseret arus pengembangan yang ada, bertahan pada keadaan lama dengan resiko ditinggalkan, atau mengadakan pengembangan sendiri yang hasilnya dimungkinkan jauh lebih baik dari pada “diam” saja. 10 Pengembangan PAI merupakan bentuk investasi “kebahagiaan” bagi umat Islam, negara Indonesia, dan seluruh umat manusia. 11 Pengembangan PAI bisa berjalan lancar bila seluruh manusia yang terlibat mempunyai kemampuan mapan, perencanaan matang, terorganisir, semangat, kesadaran, dan komitmen tinggi. 12 Pengembanan senantiasa memiliki landasan yang kuat, bukan hanya semata-mata supaya tercipta suasana baru atau demi mengejar prestise. 13 Terdapat nilai-nilai dasar pengembangan yang dijunjung bersama sebagai intagible asset bagi lembaga pendidikan Islam. Misalnya, seluruh manusia yang ada di dalamnya meyakini atau menilai bahwa proses pengembangan PAI merupakan bagian dari Ibadah yang kemungkinan besar pahalanya lebih banyak dari pada tidak melakukan pengembangan. c. Jelaskan teori belajar dan pembelajaran yang lebih cocok dan dibutuhkan dalam pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT ditinjau dari landasan/dasar/asumsi, ciri, prinsip-prinsip teori dan proses perkembangan berpikir, sosial, emosi, dan spiritual! Jawab Sebelum membahas secara mendalam tentang teori pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT maka terlebih dahulu akan lebih baik bila melihat keadaan latar belakang peserta didik pada masing-masing lembaga pendidikan yang ada PAI-nya. Hal ini karena kondisi peserta didik satu sama lain akan sangat berbeda bila dilihat dari jenjang pendidikan maupun bentuk pendidikan pendididikan umum dan pendidikan agama yang peserta didik atau orang tua pilih. Dengan kondisi yang berbeda itu maka seharusnya konsep dan praktik pembelajaran PAI di setiap jenjang maupun bentuk pendidikan harus berbeda. Bahkan antara satu lembaga dengan lembaga pendidikan lainnya juga harus berbeda. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap peserta didik mempunyai kemampuan dan minat yang berbeda satu sama lain. Bilapun ada persamaan kemampuan dan minat tentu cara perlakuannya harus berbeda, karena pasti ada perbedaan lainnya yang perlu digali diantara peserta didik itu yang sangat mungkin menjadi faktor keberhasilan pembelajaran PAI. Bagaimanapun, sistem pembelajaran PAI di setiap lembaga pendidikan tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, untuk diketahui sebab akibat dari hasil pembelajarannya tidak akan pernah lepas dari sistem lainnya. Idealnya terdapat komponen penyokong baik di dalam maupun luar sekitarnya untuk tercapainya tujuan pembelajaran PAI. Komponen tersebut yang pertama berbentuk komponen fisik meliputi manusia, sarana prasarana, media pembelajaran, Masjid, laboratorium PAI, buku pedoman penyelenggaraan PAI, dan ruang khusus Dosen PAI untuk pengembangan diri serta sarana lain yang dipandang dibutuhkan. Sedang yang kedua berbentuk komponen non fisik meliputi latar belakang mahasiswa Islam, kepedulian pengelola lembaga terhadap perkembangan PAI, regulasi penyelenggaraan pembelajaran PAI yang seimbang dengan materi pembelajaran lainnya, dan antusiasme pendidik PAI untuk pengembangan diri ikut workshop, pelatihan, seminar, ataupun kegiatan lain yang berperan dalam peningkatan kualitas.[10] Terlebih lagi pembelajaran PAI pada Perguruan Tinggi lebih membutuhkan perhatian khusus. Hal ini karena mahasiswa sebagai peserta didik dipandang sebagai manusia yang sudah pada tahap pencapaian kematangan kedewasaan secara fisik, psikologis, dan cara berfikirnya. Mereka sudah mampu secara rasional pada dirinya sendiri dalam penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan pengolahan terhadap resiko untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Maka tentulah cara belajar antara di perguruan tinggi dengan di sekolah sangatlah berbeda karena berbeda pula suasana lingkungan belajar, strategi, dan bentuk tuntutan tugas-tugasnya. Selain itu yang menjadi ciri utama di perguruan tinggi adalah adanya kegiatan-kegiatan berupa pengabdian masyarakat dan penelitian ilmiah. Semua kegiatan itu diperlukan kematangan pola fikir ilmiah yang harus dimiliki mahasiswa. Lebih detailnya, mahasiswa sebagai pembelajar di perguruan tinggi punya perbedaan jenjang, usia, dan tingkatan kedewasaan berfikir yang jauh lebih matang. Apabila hal tersebut dibandingkan dengan pembelajar lain yang berada di tingkat pendidikan menengah seperti SMA, MA, SMK, dan MAK terlebih lagi pada tingkat pendidikan dasar seperti SMP, MTs, MI, dan SD atau bentuk lain yang sederajat. Hal ini selaras dengan pendapat Hisyam Zaini dkk. yang dikemukakan tentang “pembelajaran untuk mahasiswa di perguruan tinggi seyogyanya dibedakan dengan proses pembelajaran untuk siswa sekolah menengah.”[11] Oleh karena itu, sebagaimana juga disampaikan oleh Yahya Ganda bahwa sistem pembelajaran di perguruan tinggi harus dibedakan dengan sistem pembelajaran di pendidikan tingkat menengah dan dasar.[12] Sebagai upaya pendalaman pembahasan tentang mahasiswa maka menurut Agus M. Hardjana semua pengarahan dan masukan dari Dosen kepada mahasiswa sebaiknya diolah dan dikaji penuh pendalaman klarifikasi, serta mahasiswa seharusnya tidak sangat tergantung dan total dipengaruhi oleh pengarahan dan pemikiran Dosen.[13] Hal yang semakna disampaikan oleh E. P Hutabarat bahwa bahan atau materi pembelajaran ilmu pengetahuan umum yang disajikan oleh Dosen harus dikritisi oleh mahasiswa, yang mana bahan pembelajaran merupakan sebuah fakta’ yang masih bisa berubah karena sebuah materi tersebut dilahirkan berdasarkan dari penelitian. Oleh karena itu Dosen bukan sekedar alat penyampai informasi, namun juga dilakukan penyampaian dan pemeriksaan kembali oleh Dosen terhadap dasar serta alasan kepada mahasiswa kenapa informasi tersebut harus dipercayai. Dengan asumsi mahasiswa harus aktif dalam pencarian referensi atau sumber ilmu lain yang berperan dalam peningkatan keilmuan. Walau demikian seharusnya sikap kritis dan rasional mahasiswa ini tidak menjadi sebuah ancaman bagi Dosen PAI, malah sebaliknya menjadi sebuah tantangan bagi Dosen PAI dalam pengembangan materi PAI sehingga bisa menjadi kajian keilmuan yang menarik seperti halnya ilmu pengetahuan umum.[14] Hal tersebut hampir sama esensinya sebagaimana menurut Andreas Anangguru Yewangoe menyampaikan tentang sosok mahasiswa adalah seorang yang punya daya intelektual diharapkan mampu dalam proses pemilihan dan pemilahan kebenaran’ sebuah persoalan secara kritis dan objektif. Selain itu mahasiswa dalam pergaulan sehari-hari dipandang cenderung mampu untuk penolongan seseorang dalam pengambilan jarak dengan permasalahan-permasalah dan mampu dalam pemberian solusi untuk membantu seseorang.[15] Dengan demikian mahasiswa sebagai manusia ilmiah’ bisa berperilaku serta berfikir ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya saat di perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.[16] Oleh karena itu rasa cinta pada ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu pendidikan Islam secara integratif hendaknya tetap dimiliki mahasiswa setelah lulus. Lebih detail, menurut Piaget sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan normal maka perkembangan kognitifnya akan melalui tahapan sebagai berikut[17] 1 Tahap senorimotor usia antara 0-2 tahun, pada tahapan seorang anak secara intensif menggunakan sensomotirik dalam melakukan pengamatan dan pengindraan terhadap sekitarnya. Capain maksimal yang dapat terjadi pada tahapan ini adalah perkembangan bahasa, kemampuan mengkonsep objek, mengontrol skema, dan bahkan mulai mengenal hubungan sebab akibat. 2 Tahap praoperasional usia antara 2-7 tahun, tahapan ini terbagi menjadi dua yaitu pertama masa prekonsepstual usia antara 2-4 tahun yang sudah mulai bisa berpikir secara transduktif menarik kesimpulan dua benda yang berbeda dengan cara menandai persamaannya kemudia menyamakannya. Misalnya setelah melihat sapi maka ketika melihat kerbau juga dikatakan sebagai sapai karena menurut si anak memiliki banyak persamaan. Kedua masa intuitif usia antara 2-7 tahun yang sudah bisa melakukan pengamatan secara egosentris searah sehingga belum mampu memahami bagaimana cara orang lain memandang objek yang sama dilihatnya. 3 Tahap operasional konkret usia antara 7-11/12 tahun, pada tahapan ini seorang anak telah memiliki tiga kemampuan baru yaitu pengklasifikasian, penyusunan, dan pengasosiasian angka-angak. Bahkan seorang anak sudah bisa memuli mengkoservasi pengetahuan tertentu. 4 Tahap operasional formal usia antara 11/12-13/14 tahun, pada masa ini seorang anak memiliki kemampuan dalam mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat oleh objek yang bersifat konkret. 2. Bacalah secara kritis 3 Jurnal. Ambillah masing-masing 1 isi jurnal tentang pengembangan pendidikan Agama Islam di sekolah/madarsah dan perguruan tinggi dengan ketentuan 2 jurnal penelitian dan 1 artikel. 2 berbahasa Inggris/arab, dan 1 berbahasa Indonesia setiap sumber harus disebutkan jelas dan dilampirkan! a. Buatlah ikhtisar dan berikan komentar Anda pada setiap jurnal maksimal 1 hal judul yang dikhtisarkan dari Jurnal, pengarang, sumber - abstrak- deskrepsi isi- metode penelitian jika ikhtisar jurnal penelitian hasil – komentar Anda dari isi jurnal! Jawab 1 Jurnal Penelitian Pertama a Judul Curriculum Development Model Islam Character Based Education Studies Analysis in SMKN 2 Pandeglang Banten b Pengarang Sisti Muhibah d Abstrak setelah diterjemahkan Inisiatif diadakannya penelitian ini adalah karena kurangnya nilai karakter di beberapa sekolah, terlebih lagi pada lembaga pendidikan yang berbasis keterampilan seperti pendidikan kejuruan. Pendidikan Islam berusaha menyoroti tentang isi kurikulum tentang kegiatan berdo’a yang mana pesan moral di dalamnya tidak tersampaikan kepada peserta didik. Materi ajarnya pun dengan sangat kuat didominasi hukum/tata cara berdo’a. Sedangkan kebiasaan dan makna do’a hampir terabaikan secara sistemik pada seluruh proses pembelajaran. bahkan guru PAI tidak mengimplementasikan materi atau kajian islam tentang karakter moral yang patut diteladani. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan beberapa strategi pengembangan kurikulum PAI yang didasarkan pada kajian yang terfokus pada pendidikan karakter melalui kegiatan pembelajaran di SMK 2 Pandeglang Banten. Seloah ini telah menerapkan kurikulum dan silabus yang bermuatan pendidikan karakter sehingga dapat digunakan sebagai bahan ajar yang sah oleh guru-gurunya. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dan explanatory. Di mana pendekatan deskripsi digunakan untuk menjawab “apa” yang sedang terjadi, sementera pendekatan expalanatory untuk menjawab “mengapa” dan “bagaimana” yang semuanya dituangkan dalam bentuk tulisan. Teknik pengumpulan datanya menggunakan wawancara, tes, non-tes, kuesioner, dan dokumentasi. Adapaun analisis data yang telah terkumpu didasarkan pada tiga langkah, yaitu 1 Reduksi data; 2 display data; 3 Penarikan kesimpulan / verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa strategi dalam pengembangan kurikulum untuk studi Islam di SMK 2 Pandeglang yaitu 1 Mengintegrasikan nilai masing-masing karakter dalam materi pembelajaran, 2 Keadaan nilai karakter yang terkandung dalam materi pembelajaran, 3 Mengidentifikasi karakter dalam materi pembelajaran, 4 Pemberian contoh nilai karakter, 5 Menggunakan metode demonstrasi dalam praktek nilai karakter, 6 Pengklasifikasian. Istilah Kunci Model, Pengembangan Kurikulum, Pendidikan Islam, Pendidikan Karakter e Deskripsi isi Dari semua pembahasan tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi pengembangan kurikulum pendidikan karakter PAI berbasis di SMK 2 Pandeglang cukup baik, namun masih lemah dalam aplikasi dalam kehidupan sehari-hari di sekolah dan evaluasi nilai-nilai tersebut karakter, apakah itu diterapkan atau tidak oleh siswa dalam kehidupan nyata. Hal ini sangat penting karena pendidikan karakter tidak terbatas pada pengetahuan ketika “hanya” di kelas, tetapi harus diterapkan dan disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari, setidaknya di lingkungan sekolah, misalnya dalam aspek ibadah shalat, tidak cukup hanya dengan indikator peserta didik mampu praktek berdoa dengan baik, tetapi juga harus berlatih dan membiasakan diri berdoa di sekolah, sebagai bukti konkret menerapnya nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran di kelas. Demikian pula, disiplin siswa misalnya ketepatan waktu datang ke sekolah, kebersihan dan kesopanan dalam berpakaian dan lain-lain. Hal ini sangat diperlukan sebagai evaluasi keberhasilan pendidikan karakter. f Metode Penelitian Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif melalui yang bersifat deskriptif dan explanatory. Di mana pendekatan deskripsi digunakan untuk menjawab “apa” yang sedang terjadi, sementera pendekatan expalanatory untuk menjawab “mengapa” dan “bagaimana,” yang kemudian dituangkan dalam tulisan. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan yang dilakukan secara intensif, detail, dan mendalam. Hal tersebut terutama untuk objek tertentu yang memerlukan analisis yang komprehensif dan menyeluruh. Adapun Studi Kasusnya difokuskan pada "karakter berdasarkan kurikulum pendidikan strategi pembangunan di SMKN 2 Pandeglang di Provinsi Banten". Selanjutnya, langkah-langkah dalam penelitian ini dinyatakan sebagai berikut 1 observasi, untuk mengetahui kondisi lapangan, 2 tes untuk mendapatkan data awal pada kemampuan siswa, 3 Menyebarkan Kuesioner Non-Test dan wawancara untuk menentukan persepsi guru dari belajar siswa masalah, 4 data dikumpulkan dan dianalisis dengan tampilan data, reduksi data, dan kesimpulan, 5 mendapatkan draft awal 6 untuk menguji awal terbatas trial, 7 Pre test 8 pengobatan 9 Posting Test 10 Lokakarya hasil penelitian, 11 memperoleh Pendidikan kurikulum dan silabus Berbasis Karakter di SMK. g HasilSekolah menengah kejuruan SMK Negeri 2 merupakan salah satu sekolah terkemuka yang banyak menarik masyarakat Pandeglang. Dengan jumlah guru yang dimiliki adalah 85 orang, sementara jumlah siswanya mencapai 1500 anak. Bila melihat visi dan misi sekolah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pentingnya penerapan nilai-nilai karakter sangat penting dilakukan pada setiap proses pembelajaran mata pelajaran apapun. Sebagaimana hasil penelitian tentang kurikulum silabus, dan RPP PAI yang diterpakan pada SMKN 2 Pandenglang dapat dirumuskan berbagai strategi pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter sebagai berikut 1 Mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam setiap pelajaran. 2 Mengidentifiksi nilai-nilai karakter yang terkandung dalam bahan pembelajaran, misalnya, ketika siswa membahas surat Al-kafiruun nilai-nilai karakter yang dapat diambil adalah tentang toleransi, dan sebagainya. 3 Mengidentifikasi nilai-nilai karakter dalam materi pembelajaran yang akan diterapkan, sehingga anak dapat mengenali nilai-nilai yang baik. 4 Memberikan contoh nilai-nilai karakter dan mempraktekkan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam materi pembelajaran. 5 Menggunakan metode demonstrasi dalam praktek ketika nilai-nilai karakter di dalam kelas. 6 Adanya Pengklasifikasian. Kenyatan yang ada, nilai-nilai karakter dalam subjek pendidikan Islam lebih dominan pada upaya untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang religius, jujur, disiplin, menghargai keberagaman atau toleransi. Untuk menanamkan nilai-nilai agama maka guru harus membiasakan siswa berdoa di sekolah, seperti shalat dhuha dan doa á¸uhÅr. Bahkan bila pelru memberikan sanksi bagi siswa yang tidak berdoa berjamaah atau tidak disiplin. Oleh karena itu, perlu diadakan pelaksanaan Pengembangan Kurikulum PAI berbasis pendidikan karakter dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke subjek. Hal itu, terutama dalam pendidikan agama Islam perlu dibangun prosedur pengembangan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter melalui langkah-langkah sebagai berikut 1 sosialisasi, tujuan sosialisasi adalah untuk menyamakan persepsi tentang konsep pendidikan karakter. 2 Magang / Studi Banding sekolah Best Practice, guru PAI Beberapa orang harus diberi kesempatan untuk magang di pendidikan sekolah terbaik praktik karakter di daerah lain. 3 Pengembangan dokumen kurikulum, dokumen pengembangan kurikulum dimulai dengan identifikasi dan analisis nilai-nilai karakter yang terkandung dalam Standar Kelulusan SKL. 4 Mengembangkan rencana rencana aksi sekolah, aksi susun melalui review dari rencana aksi sekolah yang telah dikembangkan sebelumnya secara komprehensif. Pada elemen rencana aksi sekolah berkaitan dengan pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pemrograman dan khususnya, 5 Dokumen Lokakarya Dokumen I dan II, di tahap ini, tim pengembangan harus memegang kurikulum lokakarya dokumen perbaikan I dan II dokumen yang mengintegrasikan karakter pendidikan dengan mempertimbangkan hasil analisis konteks SKL, aspirasi masyarakat dan Aksi Sekolah Rencana RAS, Perbaikan dibuat untuk dokumen saya kurikulum termasuk visi, misi, dan tujuan sekolah dan Dokumen kedua silabus dan RPP, 6 Perencanaan dan Pelaksanaan karakter Pendidikan, dalam pelaksanaan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter untuk mata pelajaran Pendidikan Islam, 7 Penilaian keberhasilan. Dari uraian di atas, strategi pengembangan kurikulum pendidikan karakter PAI berbasis adalah metode atau teknik untuk menerapkan nilai-nilai yang pendidikan karakter agama ke dalam kurikulum dan silabus. h Komentar Berdasarkan uraian di atas, menurut saya pendidikan karakter selain diterapkan dibiasakan di dalam kelas saat proses pembelajaran juga perlu diberlakukan dan dibiasakan pada perilaku sehari-hari apa adanya di lingkungan sekolah. Serta perlu adanya evaluasi terhadap perilaku peserta didik terhadap pelaksanaan nilai-nilai karakter yang tidak hanya didasarkan pada kemampuan kognitifnya saja tetapi juga afeksi dan psikomotorik. 2 Jurnal Penelitian Kedua a Judul Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu Insantama Bogor b Pengarang Agus Retnanto d Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang 1 Mengapa Pendidikan Terpadu Insantama Bogor melakukan model pengembangan karakter melalui pendidikan terpadu? 2 Bagaimanakah model pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? 3 Bagaimanakah Budaya Sekolah yang dikembangkan pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? 4 Bagaimanakah dampak penerapan model pengembangan karakter yang dilaksanakan di Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? Penelitian difokuskan pada Bagaimanakah model pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? Dalam penelitian ini menggunakan penelitian etnografi yaitu metode penelitian kualitatif yang mengkaji perilaku manusia dalam setting alamiah dengan fokus interpretasi budaya terhadap perilaku tersebut. Teknik pengambilan data meliputi pengamatan untuk sumber data peristiwa, wawancara untuk sumber data responden, dan analisis dokumen untuk sumber data dokumen. Teknik analisis data data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model Spreadley. Analisis tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema. Nilai kegunaan atau urgensi dari penelitian ini diharapkan mempunyai implikasi untuk membantu menyumbangkan pemikiran yang berkaitan pendidikan, dalam rangka pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional dalam Sistem Pendidikan Nasional sehingga dapat menambah khasanah ilmu pendidikan khususnya dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Membantu memberikan sebuah konsep sistem pendidikan yang dapat digunakan untuk menciptakan manusia cerdas sekaligus berakhlaq mulia yang mampu mengatasi berbagai macam problem yang sedang melanda manusia Indonesia yang sedang membangun. Kata Kunci Model Pengembangan Karakter, Sistem Pendidikan Terpadu. e Deskripsi isi Berangkat dari paparan di atas, maka implemetasinya adalah dengan mewujudkan lembaga pendidikan Islam unggulan secara terpadu dalam bentuk Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu TKIT, Sekolah Dasar Islam Terpadu SDIT, Sekolah Menengah Islam Terpadu SMPIT, Sekolah Menengah Umum Terpadu SMUIT, dan Perguruan Tinggi Islam Terpadu. Pengembangan Karakter dengan Pendidikan Islam Terpadu 1 Keterpaduan Kurikulum Kepribadian Islam, Tsaqofah Islam dan Ilmu Kehidupan. Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni a berkepribadian Islam, b menguasai tsaqofah Islam, c menguasai ilmu kehidupan pengetahuan dan teknologi. Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam seluruh aktivitas kesehariannya. Identitas kemusliman akan nampak pada kepribadian seorang muslim, yakni pada pola berpikir aqliyah dan pola bersikapnya nafsiyah yang distandarkan pada aqidah Islam. Islam mendorong setiap muslim untuk maju dengan cara men-taklif-nya memberi beban hukum kewajiban menuntut ilmu, baik ilmu yang berkaitan langsung dengan Islam tsaqofah Islam maupun ilmu pengetahuan umum iptek. Menguasai ilmu kehidupan iptek dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannnya sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu seperti teknik, kedokteran, pertanian dan sebagainya sangat dibutuhkan umat. 2 Keterpaduan Pendidikan Sekolah, Keluarga dan Masyarakat Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis di samping masing-masing unsur tersebut juga belumlah berfungsi secara benar. Sinergi negatif antar ketiganya, memberikan pengaruh kualitas proses pendidikan secara keseluruhan. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya minimasi pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam. Selanjutnya, dibuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah – keluarga – masyarakat inilah yang akan menjadikan pribadi anak didik yang utuh sesuai dengan kehendak Islam. 3 Keterpaduan Sekolah, Asrama/Pesantren dan Masjid Untuk meciptakan kultur sekolah yang bersih dari pengaruh negatif masyarakat, program full-day school dan boarding school merupakan alternatif yang dapat dilakukan. Karena itu, tiga poros sekolah, asrama/pesantren dan masjid yang berperan penting dalam pengembangan SDM tapi selama ini terpisah-pisah, harus dapat diharmonisasikan. Sekolah berfungsi untuk mengintroduksikan kurikulum pendidikan secara formal sesuai dengan jenjang yang ada. Asrama merupakan sarana di luar sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan formal. Sikap disiplin, kemandirian, kepemimpinan dan tanggung jawab dapat diciptakan dalam asrama. Sedangkan masjid merupakan pusat kegiatan keislaman siswa. Di masjid, siswa akan melakukan shalat berjamaah, pembinaan kepribadian dan kegiatan lainnya. Jika ketiganya diintegrasikan, diharapkan akan tercipta budaya sekolah yang ideal. Sekolah Terpadu Insantama Bogor menyediakan serangkaian materi untuk mendidik seorang anak hingga dewasa termasuk perkembangan dirinya. Namun, tanggung jawab pendidikan bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah. Kunci menuju pendidikan yang baik adalah keterlibatan orang dewasa yaitu orang-tua yang penuh perhatian. Jika orang-tua terlibat langsung dalam pendidikan anak-anak di sekolah, maka prestasi anak tersebut akan meningkat. Setiap siswa yang berprestasi dan berhasil menamatkan pendidikan dengan hasil baik selalu memiliki orang-tua yang selalu bersikap mendukung. Apa yang dapat dilakukan oleh orang-tua bagi anaknya setelah mereka memasuki pendidikan di sekolah? Berikut ini beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orang-tua agar anaknya dapat berprestasi di sekolah. 4 Dukungan Orang-Tua Orang-tua sebaiknya memberi perhatian kepada anak-anak mereka dan menanamkan kepada mereka nilai dan tujuan pendidikan. Mereka juga berupaya mengetahui perkembangan anak mereka di sekolah. Caranya adalah dengan berkunjung ke sekolah untuk melihat situasi dan lingkungan pendidikan di sekolah. Menaruh minat terhadap aktivitas sekolah akan secara langsung mempengaruhi pendidikan anak. Kerja Sama dengan Guru Biasanya apabila timbul masalah-masalah gawat, barulah beberapa orang-tua menghubungi guru anak-anak mereka. Sebaiknya, orang-tua perlu mengenal guru di sekolah dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Berkomunikasilah dengan guru untuk perkembangan anak. Guru juga perlu diberitahu bahwa orang tua memandang penting pendidikan anak di sekolah sebagai bagian kehidupannya. Ini akan membuat guru lebih memperhatikan anak. Hadir pada pertemuan orang-tua murid dan guru yang diselenggarakan oleh sekolah. Pada pertemuan ini, orang tua memiliki kesempatan untuk mengetahui prestasi akademis anak serta perkembangan anak di sekolah. Jika seorang guru mengatakan hal yang buruk mengenai anak, dengarkan guru tersebut dengan penuh respek, dan selidiki apa yang ia katakan. Orang tua juga dapat menanyai guru-guru di sekolah mengenai prestasi, sikap, dan kehadiran anak di sekolah. Jika seorang anak sering bermuka dua, maka penjelasan dari guru bisa jadi mengungkap hal-hal yang disembunyikan anak saat bersikap manis di rumah. 5 Menyediakan waktu untuk anak Selalu sediakan waktu yang cukup banyak bagi anak. Jika anak pulang sekolah, umumnya mereka cukup stres dengan beban pekerjaan rumah, ulangan, maupun problem lainnya. Sungguh ideal jika orang-tua misalnya seorang ibu berada di rumah pada saat anak-anak di rumah. Seorang anak akan senang bercerita ketika pulang sekolah seraya mengeluarkan semua keluhan dan bebannya kepada orang-tua. Bisa jadi mereka mulai menceritakan teman-temannya yang nakal yang mulai menawari rokok dan narkoba. Segera tanggap dengan hal tersebut jika menyediakan waktu bagi anak-anak. 6 Mengawasi kegiatan belajar di rumah Menunjukkan adanya rminat pada pendidikan anak Anda. Pastikan anak-anak Anda sudah mengerjakan pekerjaan rumah PR mereka. Wajibkan diri untuk mempelajari sesuatu bersama anak-anak. Membaca bersama-sama mereka. Jangan melupakan menjadwalkan waktu setiap hari untuk memeriksa pekerjaan rumah anak. Kendalikan waktu menonton TV, Internet dan bermain game dari anak-anak. 7 Megajari tanggung jawab Sekolah umumnya akan memberi banyak tugas untuk dipersiapkan anak di rumah dan di sekolah. Apakah mereka mengerjakan tugas-tugas itu dengan benar dan baik? Seorang anak dapat bertanggung jawab mengerjakan tugas mereka di sekolah jika telah mengajar mereka untuk mengerjakan tanggung jawab di rumah. Mencoba mulai memberikan anak pekerjaan rumah tangga rutin setiap hari seperti membersihkan tempat tidur sendiri menurut jadwal yang spesifik. Pelatihan di rumah seperti itu akan membutuhkan banyak upaya di pihak orang tua karena perlu diawasi. Tetapi hal itu akan mengajar anak rasa tanggung jawab yang mereka butuhkan agar berhasil di sekolah dan di kemudian hari dalam kehidupan. 8 Disiplin Jalankan disiplin dengan tegas namun dengan penuh kasih sayang. Jika Anda selalu menuruti keinginan anak, maka mereka akan menjadi manja dan tidak bertanggung jawab. Problem lain bisa muncul jika Anda terlalu memanjakan anak Anda seperti seks remaja, narkoba, prestasi yang buruk, dan masalah lainnya. 9 Kesehatan Jaga kesehatan anak agar prestasi belajarnya tidak terganggu. Buat jadwal tidur yang cukup untuk anak . Anak-anak yang kelelahan tidak dapat belajar dengan baik. Lalu hindari makanan seperti junk food, karena selain menyebabkan problem obesitas, juga mendatangkan pengaruh yang buruk terhadap kesanggupannya untuk berkonsentrasi. 10 Menjadi teman terbaik Menjadi teman terbaik bagi anak orang tua. Meluangkan waktu untuk berbagi berbagai hal dengan mereka. Seorang anak membutuhkan semua teman yang matang yang bisa ia dapatkan. Sebagai orang-tua, Anda dapat menghindari banyak problem dan kekhawatiran atas pendidikan anak Anda dengan mengingat bahwa kerja sama yang sukses dibangun di atas komunikasi yang baik. Kerja sama yang baik dengan para pendidik di sekolah juga dapat membantu melindungi anak. 11 Mengembangkan Karakter melalui Budaya Pendidikan Budaya pendidikan sebagai aspek penting bagi peningkatan mutu pendidikan. Budaya sebagai produk manusia merupakan eksternalisasi yang memproduksi tatanan sosial yang berlangsung terus-menerus mendasari pemahaman bagi setiap peran yang ada pada satuan pendidikan. Bahwa keberadaan manusia terus-menerus mengeksternalisasi diri dalam aktivitas. Aktivitas yang telah menjadi kebiasaan, menghasilkan makna-makna yang sudah tertanam sebagai hal yang rutin. Dengan demikian pembiasaan memberikan arah dan spesialisasi kegiatan yang berlangsung sepanjang watu dan membentuk suatu lembaga. Proses pelembagaan tindakan sehari-hari yang sudah dilakukan oleh masyarakat secara luas menjadi milik bersama. Demikian halnya dalam kehidupan di lingkungan sekolah terjadi proses pelembagaan tindakan sehari-hari yg dilakukan oleh semua unsur secara luas menjadi milik sekolah. f Metode Penelitian Pendekatan dan model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif model Spreadley. Analisis tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema. Analisis domein dimaksudkan untuk menentukan domein budaya yang berisi kategori-kategori yang bebih kecil yang meliputi istilah bagian, istilah acuan, dan hubungan semantik antara istilah bagian dan istilah acuan itu. Analisis taksonomi dimaksudkan untuk mengorganisasikan domein-domein beserta bagian-bagiannya itu sehingga terbentuk suatu konstelasi yang utuh. Analisis komponen dimaksudkan untuk mencari atribut-atribut unsur dalam setiap domein guna mengidentifikasi kontras diantara unsur-unsur dalam domein tersebut, sehingga masing-masing domein dapat diidentifikasikan secara jelas dan dapat dilihat kontrasnya dengan domein-domein lainnya. Analisis tema dimaksudkan untuk menentukan hubungan antar domein dan hubungan antara domein-domein tersebut dengan pemandangan budaya secara keseluruhan. Sesuai dengan sumber datanya, teknik pengambilan data meliputi pengamatan untuk sumber data peristiwa, wawancara untuk sumber data responden, dan analisis dokumen untuk sumber data dokumen. Dari ketiga sumber yang dapat memberikan data tersebut, peneliti membidik peristiwa seperti kegiatan belajar mengajar baik di dalam ruang maupun di luar kelas. Respoden, baik kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa maupun masyarakat sekitar lembaga pendidikan. Dokumen, berupa segala bentuk informasi tertulis, seperti kurikulum, buku-buku administrasi lain yang mendukung proses pembelajaran. Peneliti juga memakai teknik snowball sampling denganmaksud tidak hanya mendatangi satu orang yang dipandang memiliki informasi yang dibutuhkan, namun pada tahap selanjutnya akan mendatangi orang lain atas rekomendasi orang yang sebelumnya ditemuinya. Pencarian data dapat dihentikan manakala peneliti menganggap bahwa informasi telah jenuh. Adapun teknis analisis data data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model Spreadley. Analisis tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema. g Hasil 1 Tujuan Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; tujuan pendidikan adalah suatu kondisi yang menjadi target penyampaian ilmu pengetahuan. Tujuan ini juga merupakan panduan dan acuan bagi seluruh kegiatan dalam sistem pendidikan. Matra, sebagaimana pengertiannya, Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni a berkepribadian Islam, b menguasai tsaqofah Islam, c menguasai ilmu kehidupan iptek dan d memiliki ilmu kehidupan keterampilan memadai. 2 Memiliki Ilmu Kehidupan Keahlian/Keterampilan Memadai; perhatian besar Islam pada ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian, menempatkannya sebagai salah satu tujuan pendidikan Islam. Penguasaan keterampilan yang serba material ini juga merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh umat ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash dalam Al Qur’an dan yang mengisyaratkan kebolehan mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum atau keterampilan seperti yang beberapa di antaranya telah diungkapkan sebelumnya. Sebagaimana hafnya dengan iptek, Islam juga menjaclikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan dan lainnya. 3 Unsur Pelaksana Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; berdasarkan pengorganisasian, proses pendidikan bisa dibagi menjadi doa, yakni secara formal di sekolah/kampus dan secara nonformal di luar kampus sekolah/lingkungan, yakni keluarga dan masyarakat. 4 Pendidikan di tengah masyarakat; hampir sama dengan pendidikan di keluarga, pendidikan di tengah masyarakat pada hakikatnya juga merupakan proses pendidikan sepanjang hayat, khususnya berkenaan dengan praktek kehidupan seharihari yang dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di masyarakat, utamanya tetangga, teman pergaulan, lingkungan serta sistem nilai yang berjalan. Dalam sistem Islam, masyarakat adalah salah satu elemen penting penyangga tegaknya sistem selain rasa ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu serta keberadaan negara sebagai pelaksana syariat Islam. Adanya sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi tingkah laku penguasa pada masyarakat dimungkinkan mengingat masyarakat dalam perspektif Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa dalam diri setiap individunya. Karena itu, dengan sendirinya, proses pendidikan di tengah masyarakat ini menempati posisi penting. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid persatuannya. 5 Asas Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; menginat sangat pentingnya aqidah bagi kehidupan seorang muslim, maka Islam mengharuskan setiap muslim untuk memegang teguh aqidah itu dan menjadikannya dalam berfikir dan berbuat, termasuk ketika menyusun system pendidikan. Maka, kurikulum pendidikan yang dilaksanakan pun berlandaskan pada aqidah Islam. Karenanya, jika aqidah Islam teiah menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang muslim, asas bagi hubungan antar sesama Muslim, asas bagi aturan dan masyarakat umumnya, dan asas bagi kehidupan bemegaranya, Maka seluruh pengetahuan yang diterima seorang muslim harus berdasarkan aqidah Islam pula. Seluruh pengetahuan tidak terkecuali, balk itu berupa pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi, hubungan sosial, masalah ekonomi, hukum, politik dan kenegaraan atau masalah apa pun yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan akhirat, wajib berlandaskan pada aqidah Islam. 6 Struktur Kurikulum Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam di sekolah/kampus dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi karakteristik khas, yakni a Pembentukan SyakhSiyyah Islamiyyah Kepribadian Islami, b Tsaqofah Islam dan c Ilmu Kehidupan Iptek, keahlian dan Keterampilan. Sebagaimana, yang tercermin dalam Label di bawah ini, selain muatan penunjang proses pembentukan Syakhshiyyah lslamiyyah yang secara menerus pemberiannya untuk tingkat TK - SD dan SMP - SMU - PT, muatan staqofah Islam dan Ilmu Kehidupan Iptek, keahlian dan Keterampilan diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing. 7 Dana, Sarana dan Prasarana; berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah sebagaimana disarikan oleh Al Baghdadi 1996 dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma bebas biaya dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan tinggi dengan fasilitas sarana dan prasarana sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul negara serta diambil dari kas Baitul Maal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan atas ijma sahabat yang memberi gaji kepada para pengajar dari baitul maal dengan jumlah tertentu. 7 Lembaga Pendidikan Islam Unggulan; di zaman pemerintahan Islam, sejak abad 4 Hijriah telah dibangun banyak sekolah Islam. Tetapi sebelum sekolah semodel itu dikembangkan, pendidikan ketika itu biasanya dilakukan di dalam masjid, majelis-majelis taklim dan tempat-tempat pendidikan keterampilan lainnya. Muhammad Athiyah Al Abrasi dalam buku dasar-dasar pendidikan Islam, memaparkan usaha-usaha para khalifah untuk membangun sekolah-sekolah itu. Dalam perkembangannya, setiap khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan rasarananya. Pada setiap sekolah tinggi itu dilengkapi dengan iwan auditorium, gedung pertemuan, asrama penampungan mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi. 8 Kendala; dalam membangun model pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Islam tentu saja akan menghadapi kendala utama, yakni belum diterapkannya bangunan secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Model pendidikan atau sekolah unggulan sedemikian hanya dapat diterapkan oleh Negara. 9 Upaya; mengingat kendapa di atas, maka harus ditempuh aksi individual atau kelompok kalangan muslim yang memang dibenarkan oleh hukum syara’ selama memenuhi persyaratan lembaga pendidikan Islam, dari mulai asas kurikulumnya hingga operasional pendidikan keseharian. Inilah yang ditempuh melalui Pendidikan Islam Terpadu Insantama Bogor. 10 Pengembangan Karakter Berdasar pada Landasan Budaya Sekolah; model pengembangan Karakter akan selalu melekat pada bagaimana kinerja sekolah tersebut dalam mengembangkan budaya sekolah. Budaya sekolah sebagai aspek penting bagi pengembangan kepribadian siswa. Budaya sebagai produk manusia merupakan eksternalisasi yang memproduksi tatanan sosial yang terus-menerus mendasari pemahaman bagi setiap peran yang ada pada satuan pendidikan. Konsep eksternalisasi bahwa keberadaan manusia terus-menerus mengeksternalisasi-kan diri dalam aktivitas. Aktivitas yang telah menjadi kebiasaan, menghasilkan makna-makna yang sudah tertanam sebagai hal yang rutin. Pembiasaan memberikan arah dan spesialisasi kegiatan yang berlangsung sepanjang waktu dan membentuk suatu lembaga. Proses pelembagaan tindakan sehari-hari yang sudah dilakukan oleh masyarakat secara luas menjadi milik bersama. Demikian halnya dalam kehidupan di lingkungan sekolah terjadi proses pelembagaan tindakan sehari-hari yang dilakukan oleh semua unsur yang secara luas menjadi milik sekolah. h Komentar Sistem pendidikan terpadu baik yang ada di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu TKIT, Sekolah Dasar Islam Terpadu SDIT, Sekolah Menengah Islam Terpadu SMPIT, Sekolah Menengah Umum Terpadu SMUIT, dan Perguruan Tinggi Islam Terpadu apakah harus disamakan sifatnya? Bagaimana pendidikan terpadu tidak hanya memadukan secara adminsitrasi tapi juga memadukan nilai-nilainya? 3 Jurnal Atikel B. Inggris Ketiga a Judul Strategizing Islamic Education b Pengarang Muhammad Syukri Salleh c Sumber International Journal of Education and Research Vol. 1 No. 6 June 2013ISSN 2201-6333 Print ISSN 2201-6740 Online, dalam didownload tanggal 03 Juli 2015. d Abstrak setelah diterjemahkan Tulisan ini mencoba mengajukan rumusan strategi dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Ruang lingkup pendidikan Islam di sini tidak dibatasi hanya untuk Muslim. Akan tetapi melampaui kelompok etnis-agama sehingga tidak untuk umat Islam saja. Dengan premis tersebut, artikel ini cenderung menekankan pada dua persyaratan mendasar dalam menyusun strategi pendidikan Islam. Pertama, pada sifat lembaga pendidikan Islam. Kedua, pada strategi dalam meningkatkan pendidikan Islam itu sendiri. Wacana terbentuk dengan keyakinan bahwa lembaga pendidikan Islam harus tertanam kuat dalam fondasi filosofis dan epistemologis Islam, sehingga bisa mencerminkan semua perbuatan, manajemen, metode belajar-mengajar, dan metodologi penelitian. Selanjutnya, misi lembaga pendidikan Islam menekankan akan dicapai melalui upaya inovatif, melampaui standar yang digunakan, dan bersaing dengan pendidikan yang lainnya, baik yang bercirikan Islam maupun non-Islam. Tujuannya adalah untuk menjadi perintis nyata dan menjadi institusi terkemuka, sehingga bisa terhempas ke depan melampaui pandangan pada umumnya dari banyak lembaga pendidikan Islam yang ada kontemporer saat ini. Kata kunci pendidikan, pembelajaran, strategi pendidikan Islam e Deskripsi isi Tidak diragukan lagi, pendidikan Islam telah menarik banyak Muslim untuk mengunakannya menjadi pilihan dan sekarang ini PAI tengah berusaha merelaisasikan minat umat Islam tersebut sehingga menjadi pilihan utama. Tujuan tertentu dari pendidikan Islam, sampai batas tertentu, memang telah tercapai. Namun, penyempurnaan dari prestasi tersebut harus dibarengi dengan latihan terus menerus. Sebuah strategi jenis tertentu harus dirancang dan secara teratur ditingkatkan. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menunjukkan tiga aspek yang harus diberikan pertimbangan dalam meningkatkan strategi. Pertama, penerapan metode manajemen Islam di lembaga pendidikan Islam. Kedua, penekanan pada metode belajar-mengajar yang diberi nama `hati ke hati 'metode. Ketiga, penciptaan inovasi sendiri, standar, dan arena bermain. Melalui ini, pendidikan Islam bisa menjadi usaha terbaik dalam menerapkan kehidupan yang harmonis dan aman bagi seluruh umat manusia, terlepas dari orientasi etnis dan agama. Melalui ini juga, pendidikan Islam bahkan di Barat memiliki masa depan yang mungkin dan dibenarkan dalam konteks Barat modern saat ini. Bahkan, mencapai keseimbangan pendidikan antara tradisi dengan pencerahan seperti yang diyakini oleh filsuf pendidikan Belanda yang terkenal, Wilna Meijer. f Komentar Bagaimana batas-batas untuk membedakan PAI untuk diterapkan bagi umat Islam sendiri dan PAI yang bisa diterapkan bagi seluruh umat manusia? Di mungkinkan PAI yang seperti itu bisa mengabaikan simbol-simbol, ritual, ibadah, dan aspek-aspek penting lain karena lebih mengutamakan nilai kemanusiaan universal. Dengan kata lain, PAI hanya dimanfaatkan sebagai nilai berkehidupan untuk seluruh umat manusia dan di dunia saja tidak terlalu menekankan pada upaya memperoleh ridha Allah SWT. b. Atas dasar ikhtisar isi jurnal tersebut, rumuskan apakah ada implikasi atau pemikiran Anda dalam penerapanya untuk Pengembangan pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT! Jawab Pendidikan Karakter bisa menjadi satu ciri khas suatu bangsa. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan pengembangannya seharusnya berakar dari karakter budaya bangsa itu sendiri. Bukan mutlak berasal dari pendidikan barat yang paradigmanya jelas-jelas berbeda dengan bangsa Indonesia. di mana paradigma barat lebih banyak diturunkan dari Cartesian Descartes dan Newtonian sehingga menjadi penyebab munculnya paradigma tunggal tidak utuh di dunia Barat. Dengan paradigma tunggal itu, mereka terpuruk ke lembah krisis dan penuh kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan pemikiran menurut Capra adalah tidak digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan barat. Di mana, menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu paradigma sains scientific paradigm. Padahal paradigma tersebut tidak sepenuhnya bisa melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh wholeness, kecuali hanya melihat alam ini pada bagian yang empiris saja.[18] Bila “kebudayaan” barat tersebut dikaitkan dalam dunia pendidikan, secara spesifik M. Zainuddin memaparkan perbedaannya dengan pendidikan Islam sebagaimana berikut[19] Tabel Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat Tabel diadaptasi dari pemaparan M. Zainuddin dalam bentuk paragraf Katagori Pendidikan Islam Pendidikan Barat Landasan Filosifis Paradigmanya bertolak dari sumber atau landasan doktrin Islam yang bercorak teo-antroposentris. Paradigmanya dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler sehingga terlepas dari dimensi moral dan spiritual. Struktur Konsep Pendidikan Terjadinya perbedaan tujuan, konsep tentang manusia peserta didik, nilai, serta tanggung jawab yang diembannya. Ontologi Terjadi perbedaan dalam aspek cara memandang dan menempatkan para peserta didik dalam proses pembelajaran. Sumber dan Metode Epistomologi Berasal dari Allah SWT, yang diperoleh melalui pancaindra, akal sehat, berita yang benar, dan intuisi. Semua objek benda /zat /materi yang bisa diserap oleh pancaindra. Sistem Etika Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk khalifah dan hamba Allah. Menurut Syamsul Nizar bercorak antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya, individu merdeka tanpa batas. Dari tabel tersebut dengan jelas tergambar bahwa sistem pendidikan barat adakalanya tidak sepenuhnya cocok apabila diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, setiap teori dari barat, utamanya teori tentang pendidikan tidak serta merta harus diserap sepenuhnya untuk digunaan dalam sistem pendidikan Islam. Bagaimanapun, paradigma yang digunakan oleh umat Islam dengan paradigma orang barat adakalanya berbeda. Implikasinya, bila dipaksakan akan mempengaruhi dalam membuat konsep sistem pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam akan kehilangan jati diri keislamannya, melainkan yang ada berupa simbol, slogan, dan ritus-ritusnya belaka. Lebih dari itu, bila dikaitkan dengan pembelajaran secara langsung, maka paradigma lama mengajar tentang pemberian reward and punishment atau pemberian rangsangan lain sudah tidak berlaku lagi. Ataupun, paradigma pembelajaran yang hanya sebatas menyampaikan pengetahuan dianggap sudah tidak relevan dengan kekinian. Diperlukan paradigma baru, salah satunya adalah menciptakan “flow”[20] pada peserta didik. Paradigma baru lainnya adalah kegiatan mengajar difokuskan pada proses mengatur lingkungan kebudayaan. Beberapa alasannya menurut Wina Sanjaya adalah 1. Peserta didik bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak kecil atau remaja, tetapi individu yang sedang berkembang sehingga masih butuh proses pendidikan. Dengan demikian, pendidik sebagai orang dewasa bukanlah satu-satu sumber belajar. Hal ini karena kebutuhan orang dewasa dengan anak-anak berbeda. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah sebagai pengelola sumber belajar yang sesuai dengan tingkat usia peserta didik. 2. Adanya ledakan ilmu pengetahuan berakibat pada ketidakmungkinan bagi setiap orang mampu menguasai seluruh cabang keilmuan. Dengan demikian, belajar tidak sekedar menghafal informasi, menghafal rumus-rumus, tapi belajar adalah bagaimana peserta didik mampu menggunakan otaknya untuk mengasah kemampuan berfikir. 3. Penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi menurut penulis juga bidang biologi, berakibat pemahaman baru terhadap konsep teori perubahan perilaku manusia. Di mana manusia sebagai makluk biologis organisme memiliki potensi bawaan yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya, proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu, tetapi mengembangkan potensi kecerdasan yang telah ada dan telah dimiliki peserta didik.[21] 3. Carilah isu-isu pendidikan PAI yang berkaitan dengan bentuk kurikulum di beberapa negara minimal 2 negara dan bandingkan dengan kurikulum di Indonesia. Berilah ulasan tentang isi kurikulum tersebut dan apa tanggapan/pendapat saudara tentang kurikulum di Negara tersebut! Jawab Perbandingan Kurikulum di Indonesia, Finalndia, dan Jepang Menurut Rini Wulandari[22] a Jenjang pendidikan Pada umumnya jenjang pendidikan di Indonesia dan Jepang, dan Finlandia memiliki kesamaan. Ketiga negara tersebut juga sama – sama menerapkan wajib belajar sembilan tahun. Namun untuk jenjang sarjana di Finlandia hanya memerlukan waktu studi tiga tahun. Perbedaan yang sangat mencolok antara pendidikan di Indonesia dan di negara lain terletak pada kesan prestige jika dapat memasuki universitas, sehingga siswa berlomba – lomba masukke universitas bergengsi walaupun dengan kemampuan rendah. Di Finlandia siswa – siswa yang memiliki kemampuan rendah diarahkan untuk memasuki sekolah – sekolah vokasi untuk mempersiapkan diri masuk ke dunia kerja, sehingga kemampuan – kemampuan siswa benar – benar dimaksimalkan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. b Anggaran Pendidikan Anggaran biaya pendidikan di In donesia memiliki kesamaan dengan Finlandia yaitu sekitar 20 % dari total anggaran belanja negara, sedangkan untuk Jepang, pemerintah memberikan anggaran biaya pendidikan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 31,6 % dari total anggaran belanja negara. Dalam aspek pembiayaan pendidikan, Jepang dan Indonesia memiliki kesamaan, yaitu penggratisan biaya pada jenjang pendidikan dasar. Sedangkan untuk jenjang selanjutnya siswa harus mengeluarkan biaya pribadi. Namun biaya pendidikan di Jepang tergolong rendah dibanding dengan Amerika dan Inggris. Sedangkan di Finlandia pemerintah menggratiskan biaya pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga universitas dan segala keperluan yang berhubungan dengan pendidikan, misalnya makan siang, ongkos transportasi, dan buku. c Tenaga Pendidik Untuk tenaga pendidik yaitu guru, Finlandia memiliki kualifikasi guru paling tinggi. Di Finlandia, guru merupakan profesi yang sangat diminati dan peluang untuk menjadi guru sangat kecil karena proses perekrutan yang sangat ketat. Sama halnya denggan di Finlandia, di Jepang, guru juga merupakan profesi yang sangat dihormati. Walaupun kualifikasi guru dijepang lebih rendah daripada di Finlandia, proses perekrutan guru di Jepang juga sangat ketat. Untuk di Indonesia sendiri, sedang digalakkan program – program untuk peningkatan kualitas guru. Program terbaru dari pemerintah ialah, adanya program PPG untuk mendapatkan sertifikat mengajar bagi guru. Kesejahteraan guru di Jepang dan Finlandia juga jauh diatas Indonesia jikka dilihat dari jumlah gaji yang diterima. d Kurikulum per-mata pelajaran matematika Pada dasarnya kurikulum matematika di Indonesia, Jepang, dan Finlandia sama. Namun di Indonesia saat ini masih menekankan pada kuantitas pembelajaran bukan kualitas. Materi pembelajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak daripada di jepang dan Finlandia. e Proses pembelajaran Untuk proses pembelajaran, pada intinya sama yaitu berfokus pada peserta didik. Namun pada kenyataannya di Indonesia masih banyak pembelajaran yang berfokus pada guru. Jumlah mata pelajaran yang dipelajari di Indonesia lebih banyak daripada di Jepang dan Finlandia. Lagi – lagi Indonesia masih menekankan kuantitas daripada kualitas. f Evaluasi Pada sistem evaluasi terdapat perbedaan yang mencolok antara Indonesia dengan Jepang dan Finlandia. Sistem evaluasi di Indonesia cenderung membuat siswa tertekan dengan segala kriteria yang ada. Sedangkan di Finlandia menekankan pada progress belajar siswa itu sendiri, sehingga siswa tidak merasa tertekan. Adanya sistem peringkat juga membuat siswa dengan peringkat bawah merasa minder dan secara psikologi perasaan – perasaan tersebut dapat menghambat proses belajar siswa. g Analisi untuk kurikulum di Indonesia Pada umumnya sistem pendidikan di Indonesia sudah bagus apabila dilaksanakan sesuai dengan aturan ideal yang berlaku. Misalnya pada kurikulum 2013 yang menekankan adanya pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Namun kenyataannya proses pembelajaran yang berlangsung belum sesuai dengan idealnya. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor penghambat seperti kurangnya kesiapan guru, faslitas pendidikan yang kurang memadai, dan karakter – karakter masyarakat Indonesia yang kurang mendukung. Kekurangan lainnya yaitu pada sistem evaluasi yang masih menekankan pada kuantitas bukan kualitas. Hal penting yang bisa dijadikan masukan untuk kemajuan pendidikan di Indonesia yaitu penekanan pada kualitas pendidikan bukan kuantitas. Misalnya dengan pengurangan materi pelajaran pada setiap jenjang pendidikan, pengurangan jam pelajaran yang disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didik, dan sistem evaluasi pendidikan yang tidak menekankan penilaian pada suatu kuantitas tertentu nilai tertentu. Selain itu pemerintah perlu meningkatkan profesionalitas guru dengan program – program yang berkualitas. Misalnya dengan program perekrutan guru dengan kualifikasi yang di perketat dan pembatasan program jurusan guru di universitas sehingga guru – guru yang dihasilkan lebih profesional dan berkualitas. Tanggapan dalam pengembangan kurikulum sekolah, jepang tidak menekankan pada perubahan mata pelajaran atau metode belajar, akan tetapi pada sistem pendidikan di sekolah secara keseluruhan. Pendidikan moral yang dicanangkan di jpang mampu membentuk karakter bangsa Jepang yang terkenal bersifat ulet, pekerja keras, jujur, toleran, dan solidaritas yang tinggi. Pendidikan moral itu terinklud dalam kurikulum pendidikan secara menyeluruh, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan pada tiap mata pelajaran. Bahkan nomenklatur pendidikan moral juga tercantum dalam Undang-undang yaitu harus diberikan pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini berbeda di Indonesia yang secara praktis-operasional pelaksanaannya belum nampak jelas.[23] Dengan demikian, kurikulum yang ideal ialah yang bisa mengarahkan bangsa ini menjadi bangsa penemu pencetak ide kreatif, peneliti, dan penganalisa. Bukan bangsa yang hanya bisa mencetak generasi yang difokuskan untuk mengoperasikan alat, melakukan pekerjaan rutin, dan keterampilan mengolah tubuh untuk bekerja. Kurikulum tidak hanya merubah komponen dan kemampuan fisik hard-skill manusia tapi juga merubah komponen dan kemampuan mental soft-skill. Dengan itu diharapkan, kemampuan yang dimiliki manusia tidak akan bisa digantikan oleh mesin robot dan komputer sekalipun. 4. Lakukan analisis tanggapan saudara terhadap pengembangan konsep dan implentasi kurikulum 2013 PAI di sekolah dan Madrasah Landasan, perubahan mindset, struktur kurikulum SKL- KI-KD, pembelajaran dan penilaianya! Jawab Seluruh jawaban nomer ini dikutip dari Model Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013[24] a Landasan Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan ketentuan yuridis yang mewajibkan adanya pengembangan kurikulum baru, landasan filosofis, dan landasan empirik. Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang dijadikan dasar untuk pengembangan kurikulum dan yang mengharuskan adanya pengembangan kurikulum baru. Landasan filosofis adalah landasan yang mengarahkan kurikulum kepada manusia apa yang akan dihasilkan kurikulum. Landasan teoritik memberikan dasar-dasar teoritik pengembangan kurikulum sebagai dokumen dan proses. Landasan empirik memberikan arahan berdasarkan pelaksanaan kurikulum yang sedang berlaku di lapangan. 1 Landasan Yuridis Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 32 pengganti PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar lanjut, pengembangan Kurikulum 2013 diamanatkan oleh Rencana Pendidikan Pendidikan Menengah Nasional RJPMN. Landasan yuridis pengembangan Kurikulum 2013 lainnya adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia tahun 2010 tentang Pendidikan Karakter, Pembelajaran Aktif dan Pendidikan Kewirausahaan. 2 Landasan Filosofis Secara singkat kurikulum adalah untuk membangun kehidupan masa kini dan masa akan datang bangsa, yang dikembangkan dari warisan nilai dan pretasi bangsa di masa lalu, serta kemudian diwariskan serta dikembangkan untuk kehidupan masa depan. Ketiga dimensi kehidupan bangsa, masa lalu-masa sekarang-masa yang akan datang, menjadi landasan filosofis pengembangan kurikulum. Pewarisan nilai dan pretasi bangsa di masa lampau memberikan dasar bagi kehidupan bangsa dan individu sebagai anggota masyarakat, modal yang digunakan dan dikembangkan untuk membangun kualitas kehidupan bangsa dan individu yang diperlukan bagi kehidupan masa kini, dan keberlanjutan kehidupan bangsa dan warganegara di amsa mendatang. Dengan tiga dimensi kehidupan tersebut kurikulum selalu menempatkan peserta didik dalam lingkungan sosial-budayanya, mengembangkan kehidupan individu peserta didik sebagai warganegara yang tidak kehilangan kepribadian dan kualitas untuk kehidupan masa kini yang lebih baik, dan membangun kehidupan masa depan yang lebih baik lagi. 3 Landasan Empiris Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah bayang-bayang resesi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut 5,7%, 5,5%, 6,3%, 2008 6,4% Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara – negara ASEAN sebesar 6,5 – 6,9 % Agus Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012. Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif,ulet, jujur, dan mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai pengarahnya. Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Maka, kurikulum harus mampu membentuk manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia. Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut berhulu dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini. Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya matapelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar. Maka, kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3 tiga kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung, dan pembentukan karakter. Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka, kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada peserta didik. Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih adanya potensi rawan pangan pada berbagai beahan dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan ketahanan pangan. Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil riset PISA Program for International Student Assessment,studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPAmenunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil Riset TIMSS Trends in International Mathematics and Science Study menunjukkan siswa Indonesia berada pada rangking amat rendah dalam kemampuan 1 memahami informasi yang komplek, 2 teori, analisis dan pemecahan masalah, 3 pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan 4 melakukan investigasi. Hasil-hasil ini menunjukkan perlu ada perubahan orientasi kurikulum, dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk berperanserta dalam membangun negaranya pada abad 21. 4 Landasan Teoritik Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar teori “pendidikan berdasarkan standar” standard-based education, dan teori kurikulum berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal warganegara untuk suatu jenjang pendidikan. Standar bukan kurikulum dan kurikulum dikembangkan agar peserta didik mampu mencapai kualitas standar nasional atau di atasnya. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu SKL SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MAK. Kompetensi adalah kemampuan sesorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan ketrampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan dimana yang bersangkutan berinteraksi. Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengembangkan sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun kemampuan yang dirumuskan dalam SKL. Hasil dari pengalaman belajar tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL. b Perubahan mindset Pendidik memiliki sikap terbuka untuk menerima kurikulum 2013 dan memiliki keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Agar tercapai itu semuanya maka pendidik harus mengetahui keadaan dan tantangan bangsa Indonesia pada Abad ke-21 sehingga pendidikan kita harus berubah. Selain iu cara berpikir paradigma yang digunakan pendidikan juga harus berubah menjadi lebih peka terhadap masalah dan memanfaatkan peluang yang ada. Bahkan pendidik harus memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dengan demikian, cara baru dalam belajar juga harus dirubah. c Struktur kurikulum SKL-KI-KD Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran. Pengorganisasian konten dalam sistem belajar yang digunakan untuk kurikulum yang akan datang adalah sistem semester sedangkan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran berdasarkan jam pelajaran per semester. a STRUKTUR KURIKULUM SD/MI Beban belajar dinyatakan dalam jam belajar setiap minggu untuk masa belajar selama satu semester. Beban belajar di SD/MI kelas I, II, dan III masing-masing 30, 32, 34 sedangkan untuk kelas IV, V, dan VI masing-masing 36 jam setiap minggu. Jam belajar SD/MI adalah 35 menit. Struktur Kurikulum SD/MI adalah sebagai berikut MATA PELAJARAN ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU I II III IV V VI Kelompok A 1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 4 4 4 4 4 4 2. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 5 6 6 4 4 4 3. Pendidikan Agama Islam 8 8 10 7 7 7 4. Matematika 5 6 6 6 6 6 5. Ilmu Pengetahuan Alam - - - 3 3 3 6. Ilmu Pengetahuan Sosial - - - 3 3 3 Kelompok B 1. Seni Budaya dan Prakarya 4 4 4 5 5 5 2. Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan 4 4 4 4 4 4 Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 30 32 34 36 36 36 = Pembelajaran Tematik Integratif Keterangan Mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya dapat Bahasa Daerah. Integrasi Kompetensi Dasar IPA dan IPS didasarkan pada keterdekatan makna dari konten Kompetensi Dasar IPA dan IPS dengan konten Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam, Matematika, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang berlaku untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan untuk kelas IV, V dan VI, Kompetensi Dasar IPA dan IPS berdiri sendiri dan kemudian diintegrasikan ke dalam tema-tema yang ada untuk kelas IV, V dan VI. Dalam struktur kurikulum SMP/MTs ada penambahan jam belajar per minggu dari semula 32, 32, dan 32 menjadi 38, 38 dan 38 untuk masing-masing kelas VII, VIII, dan IX. Sedangkan lama belajar untuk setiap jam belajar di SMP/MTs tetap yaitu 40 menit. Struktur Kurikulum SMP/MTS adalah sebagai berikut MATA PELAJARAN ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU VII VIII IX Kelompok A 1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 3 3 3 2. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 3 3 3 3. Pendidikan Agama Islam 6 6 6 4. Matematika 5 5 5 5. Ilmu Pengetahuan Alam 5 5 5 6. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4 7. Bahasa Inggris 4 4 4 Kelompok B 1. Seni Budaya 3 3 3 2. Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan 3 3 3 3. Prakarya 2 2 2 Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 38 38 38 Keterangan Mata pelajaran Seni Budaya dapat memuat Bahasa Daerah. IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam. Disamping itu, tujuan pendidikan IPS menekankan pada pengetahuan tentang bangsanya, semangat kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat di bidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah NKRI. IPA juga ditujukan untuk pengenalan lingkungan biologi dan alam sekitarnya, serta pengenalan berbagai keunggulan wilayah nusantara. Seni Budaya terdiri atas empat aspek, yakni seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater. Masing-masing aspek diajarkan secara terpisah dan setiap satuan pendidikan dapat memilih aspek yang diajarkan sesuai dengan kemampuan guru dan fasilitas pada satuan pendidikan itu. Prakarya terdiri atas empat aspek, yakni kerajinan, rekayasa, budidaya, dan pengolahan. Masing-masing aspek diajarkan secara terpisah dan setiap satuan pendidikan menyelenggarakan pembelajaran prakarya paling sedikit dua aspek prakarya sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah pada satuan pendidikan itu. Struktur kurikulum SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas - Kelompok mata pelajaran wajib yang diikuti oleh seluruh peserta didik - Kelompok mata pelajaran peminatan yang diikuti oleh peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Adanya kelompok mata pelajaran wajib dan mata pelajaran peminatan dimaksudkan untuk menerapkan prinsip kesamaan antara SMA/MA dan SMK/MAK. Mata pelajaran wajib sebanyak 9 sembilan mata pelajaran dengan beban belajar 24 jam per minggu. Kelompok mata pelajaran peminatan SMA/MA terdiri atas 18 jam per minggu untuk kelas X, dan 20 jam per minggu untuk kelas XI dan XII. Kelompok mata pelajaran peminatan SMK/MAK masing-masing 24 jam per kelas. Kelompok mata pelajaran peminatan SMA/MA bersifat akademik, sedangkan untuk SMK/MAK bersifat vokasional. Struktur ini menempatkan prinsip bahwa peserta didik adalah subjek dalam belajar dan mereka memiliki hak untuk memilih sesuai dengan minatnya. 1. Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah adalah sebagaimana yang tertera di dalam tabel berikut ini Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah kelompok mata pelajaran wajib MATA PELAJARAN ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU X XI XII Kelompok A Wajib 1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 3 3 3 2. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2 3. Pendidikan Agama Islam 4 4 4 4. Matematika 4 4 4 5. Sejarah Indonesia 2 2 2 6. Bahasa Inggris 2 2 2 Kelompok B Wajib 7. Seni Budaya 2 2 2 8. Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan 3 3 3 9. Prakarya dan Kewirausahaan 2 2 2 Jumlah Jam Pelajaran Kelompok A dan B per minggu 24 24 24 Kelompok C Peminatan Mata Pelajaran Peminatan Akademik SMA/MA 18 20 20 Jumlah Jam Pelajaran yang Harus Ditempuh per Minggu 42 44 44 Beban belajar di SMA/MA untuk Tahun X, XI, dan XII masing-masing 43 jam belajar per minggu. Satu jam belajar adalah 45 menit. 2. Struktur Kurikulum SMA/MA MATA PELAJARAN Kelas X XI XII Kelompok A dan B Wajib 24 24 24 C. Kelompok Peminatan Peminatan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam I 1 Matematika 3 4 4 2 Biologi 3 4 4 3 Fisika 3 4 4 4 Kimia 3 4 4 Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial II 1 Geografi 3 4 4 2 Sejarah 3 4 4 3 Sosiologi 3 4 4 4 Ekonomi 3 4 4 Peminatan Ilmu-Ilmu Bahasa dan Budaya III 1 Bahasa dan Sastra Indonesia 3 4 4 2 Bahasa dan Sastra Inggris 3 4 4 3 Bahasa dan Sastra Asing Lainnya 3 4 4 4 Antropologi 3 4 4 Mata Pelajaran Pilihan dan Pendalaman Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat 6 4 4 Jumlah jam pelajaran yang tersedia per minggu 66 76 76 Jumlah jam pelajaran yang harus ditempuh per minggu 42 44 44 Kelompok Peminatan terdiri atas Peminatan Matematika dan Ilmu-ilmu Alam, Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, dan Peminatan Ilmu-ilmu Bahasa dan Budaya. Sejak kelas X peserta didik sudah harus memilih kelompok peminatan yang akan dimasuki. Pemilihan peminatan berdasarkan nilai rapor di SMP/MTsdan/atau nilai UN SMP/MTs dan/atau rekomendasi guru BK di SMP/MTs dan/atau hasil tes penempatan placement test ketika mendaftar di SMA/MA dan/atau tes bakat minat oleh psikolog dan/atau rekomendasi guru BK di SMA/MA. Pada akhir minggu ketiga semester pertama peserta didik masih mungkin mengubah pilihan peminatannya berdasarkan rekomendasi para guru dan ketersediaan tempat duduk. Untuk sekolah yang mampu menyediakan layanan khusus maka setelah akhir semester pertama peserta didik masih mungkin mengubah pilihan peminatannya. Untuk MA, selain ketiga peminatan tersebut ditambah dengan Kelompok Peminatan Keagamaan. Semua mata pelajaran yang terdapat dalam suatu Kelompok Peminatanyang dipilih peserta didik harus diikuti. Setiap Kelompok Peminatan terdiri atas 4 empat mata pelajaran dan masing-masing mata pelajaran berdurasi 3 jampelajaran untuk kelas X, dan 4 jampelajaran untuk kelas XI dan XII. Setiap peserta didik memiliki beban belajar per semester selama 42 jam pelajaran untuk kelas X dan 44 jam pelajaran untuk kelas XI dan XII. Beban belajar ini terdiri atas Kelompok Mata Pelajaran Wajib A dan B dengan durasi 24 jam pelajaran dan Kelompok Mata Pelajaran Peminatan dengan durasi 12 jam pelajaran untuk kelas X dan 16 jampelajaran untuk kelas XI dan XII. Untuk Mata Pelajaran Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat kelas X, jumlah jam pelajaran pilihan per minggu berdurasi 6 jam pelajaran yang dapat diambil dengan pilihan sebagai berikut 1 Dua mata pelajaran di luar Kelompok Peminatan yang dipilihnya tetapi masih dalam satu Kelompok Peminatan lainnya, dan/atau 2 Satu mata pelajaran dari masing-masing Kelompok Peminatan yang lainnya. Sedangkan pada kelas XI dan XII, peserta didik mengambil Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat dengan jumlah jam pelajaran pilihan per minggu berdurasi 4 jam pelajaran yang dapat diambil dengan pilihan sebagai berikut a. Satu mata pelajaran di luar Kelompok Peminatan yang dipilihnya tetapi masih dalam Kelompok Peminatan lainnya, dan/atau b. Mata pelajaran Pendalaman Kelompok Peminatan yang dipilihnya. d Penilaian Indikator Pencapaian Kompetensi Teknik Penilaian Bentuk Instrumen a. Doa sebelum dan sesudah belajar. Penilaian Observasi Lembar penilaian sikap a. Memiliki sikap tanggung jawab] peduli, responsif, dan santun dalam Memiliki sikap tanggung jawab peduli, responsif, dan santun Meyakini adanya Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. . 1. Penilaian Observasi kinerja penulisan laporan. 1. Tes tertulis. 2. Rubrik penilaian kinerja. a. Menganalisis Al-Fatihah dan Al-Ikhlas b. bersuci sebelum beribadah c. Terbiasa membaca Basmalah setiap memulai aktivitas 1. Latihan 1. Lembaran tugas latihan. 2. Rubrik penilaian latihan. Lampiran 1 Lembar Pengamatan LEMBAR PENGAMATAN SIKAP Mata Pelajaran .................................................................................................. Kelas/Semester.................................................................................................... Tahun Ajaran .................................................................................................... Waktu Pengamatan ............................................................................................ Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan. No. Nama Siswa Penggunaan Diksi Keefektifan Kalimat Kesesuaian konteks 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. 2. 3 4 5 Keterangan 1 = kurang 2 = sedang 3 = baik 4 = sangat baik Lampiran 2 Lembar Pengamatan LEMBAR PENGAMATAN PERKEMBANGAN AKHLAK DAN KEPRIBADIAN Mata Pelajaran .................................................................................................. Kelas/Semester.................................................................................................... Tahun Ajaran .................................................................................................... Waktu Pengamatan ............................................................................................ Karakter yang diintegrasikan dan dikembangkan adalah kerja keras dan tanggung jawab. Indikator perkembangan karakter kreatif, komunikatif, dan kerja keras 1. BT belum tampak jika sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas 2. MT mulai tampak jika menunjukkan sudah ada usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas tetapi masih sedikit dan belum ajeg/konsisten 3. MB mulai berkembang jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas yang cukup sering dan mulai ajeg/konsisten 4. MK membudaya jika menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas secara terus-menerus dan ajeg/konsisten Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan. No. Nama Siswa Kreatif Komunikatif Kerja keras BT MT MB MK BT MT MB MK BT MT MB MK 1. 2. 3 4 5 6 7 10 11 Pedoman Penskoran Aspek Skor Siswa menjawab pernyataan benar dengan alasan benar 3 Siswa menjawab pernyataan benar tapi tidak didukung oleh alasan benar 2 Siswa menjawab pernyataan salah 1 SKOR MAKSIMAL 6 Soal Nomor 2 dan 3 Rubrik penilaian No. Kriteria Penilaian Skor Bobot 1. Pilihan kata a. tepat dan sesuai b. kurang tepat dan sesuai c. tidak tepat dan sesuai 3 2 1 5 2. Kalimat a. mudah dipahami b. sedikit sulit dipahami c. sulit dipahami 2 1 0 3 3. Ejaan dan tanda baca a. tidak ada yang salah b. sedikit yang salah c. banyak yang salah 2 1 0 2 Jakarta, Juni 2013 Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 5. Berdasarkan hasil analisis saudara, saudara diminta untuk merumuskan beberapa permasalahan yang paling penting untuk dapat diangkat sebagai usulan proposal penelitian bidang pengembangan PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT di Lembaga Pendidikan Islam. Untuk menjawab masalah ini, saudara di minta untuk mengemukakan a judul penelitian, b latar belakang masalah, c rumusan masalah, d tujuan dan manfaat penelitian, e kerangka teoritik, dan f metode penelitian yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah. Jawab a. Judul penelitian Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan Perspektif Psikologi, Biologi, dan Sosiologi di STAIN Kediri b. Latar belakang masalah Perilaku kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dan di manapun. Baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan non fisik verbal dan non verbal. Bagaimanapun, manusia sebagai makhluk yang memiliki kebutuhan akan pengakuan kadangkala melakukan “tekanan” terhadap pihak lain untuk memperoleh kebutuhan itu. Potensi permasalahan itu, belum lagi dibandingkan dengan keadaan nyata yang dihadapi oleh bangsa ini seperti perekelahian, pemukulan, pembunuhan, terorisem, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya yang sering muncul di televisi. Dalam menanggulangi dan mencegah potensi perilaku seperti itu yang jamak maka PAI sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran yang penting untuk melaksanakan misi mulia ini. Oleh karena itu, pengembangan PAI mutlak diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan perkembangan biologis, psikologis, dan sosiologi peserta didik beserat masyarakat yang menaunginya. c. Rumusan masalah 1 Bagaimana pelaksanaan pengembangan pembelajaran mata kuliah Pendidikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri? 2 Mengapa pengembangan pembelajaran Pendididikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan sangat diperlukan di STAIN Kediri? d. Tujuan dan manfaat penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, menggali, dan mengetahui 1 Pelaksanaan pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri. 2 Landasan pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri. Adapun manfaat penelitian ini adalah 1 Mampu memberikan rumusan solusi teori baru tentang pola keterkaitan antara pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan kondisi latar belakang psikologi, biologis, dan sosiologis peserta didik dan masyarakat sekitar. 2 Menjadi titik tolak bagi penelitian selanjutnya tentang pentingnya pengembangan PAI berbudaya nirkekerasan e. Kerangka teoritik Pada zaman mondial ini, dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi, sangat berlangsung cepat dan instan. Hal itu menuntut PAI untuk mengimbanginya dengan pengembangan diri secara “cepat” pula. Di sisi lain, akibat dari lompatan cepat tersebut tantangan dan permasalahan PAI menjadi bertambah. Misalnya, zaman dulu “kekerasan” antar tubuh oleh manusia prasejarah sangat perlu dilakukan untuk mengendalikan keadaan sosial, simbol dominasi, dan untuk mencari makan kekerasan pada hewan. Tapi pada zaman sekarang ini bukan “kekerasan” tubuh secara berhadap-hadapan yang dapat mengatur sistem sosial, tapi adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, dengan CCTV pemerintah bisa memantau rakyatnya dari jarak jauh, atau dengan satu tombol saja negara tertentu bisa meluluh lantakkan negara lain meski jauh lokasinya dengan bom atom. Bahkan bukan suatu kemustahilan bila suatu saat diciptakan robot yang diprogram melakukan “kekerasan.” Namun, demikian bagaimanapun Islam adalah agama universal rahmatan lil alamin yang menjangkau kebutuhan zaman secara totalitas dan utuh. Artinya, pendidikan Islam tidak hanya mengurusi masalah keakhiratan eskatologi, tapi juga urusan duniawi.[25] Artinya, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat fisik-biologis homo economicus sekaligus hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi homo socius. Atas dasar itu, maka manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian, betapa pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas.[26] Dari keterbatasan itu manusia harus bekerjasama satu sama lain. Dari kenyataan tersebut PAI berperan sebagai pembangun kejiwaan, spiritualitas, dan kemaknaan hidup bersama sehingga bisa membentuk masyarakat berbudaya nirkekerasan. Bisa dikakatan dalam posisi tersebut, PAI bertugas menyadarkan secara ilmu pengetahuan dan sikap, bahwa tindakan “kekerasan” dalam konteks yang tidak tepat, tidak manusiawi, dan dengan cara berlebih-lebihan merupakan larangan agama. Menurut Mark Jurgensmeyer, akan sangat mengejutkan dan memusingkan bila sesuatu yang buruk kekerasan justru dilakukan oleh orang “baik.” Yakni, yang mengabdikan diri pada pandangan moral dunia dan orang yang saleh. Dengan argumen dan retorika yang nampak luhur, padahal tindakan mereka telah menyebabkan penderitaan dan kekacauan kehidupan.[27] Oleh karena itu, PAI berserta institusinya seyogianya tidak hanya mendorong peserta didik hanya untuk bersabar, tabah, menerima takdir, dan pasrah pada keadaan zaman. Serta sebaliknya, “mendorong” mereka mengutuk dan mencemooh negara yang membuat teknologi yang menimbulkan kekerasan. Namun, PAI harus bisa memberikan dorongan untuk hidup damai serta mendorong peserta didik menciptakan teknologi canggih yang berbasis nirkekerasan. Dari penjelasan di atas dapat dibuat rumusan gambar terkait peran PAI dalam pencegahan tindakan kekerasan di kemudian hari sebagai berikut Gambar 1. Upaya pemutusan rantai kekerasan “ideologis” melalui Pendidikan Dari gambar di atas, dapat dikatakan peran pendidikan utamanya PAI cukup penting dalam membangun kerangka psikologis-ideologis peserta didik. Yakni, pemberian materi PAI yang bisa membangun nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan empati. Dengan itu peserta didik akan mampu membangun prinsip kehidupan damai yang mantap di kemudian hari, sehingga tidak mudah dipengaruhi paham-paham yang sesat. Mereka mampu membedakan mana tindakan biadab tidak manusiawi dan mana tindakan yang mampu mempertahankan nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam keadaan damai melakukan penyerangan kekerasan terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan tidak manusiawi. Namun, mengadakan penyerangan kekerasan terhadap musuh yang telah melakukan penyerangan terlebih dahulu bernilai jihad. Bahkan merupakan tindakan manusiawi yaitu demi mempertahankan nilai-nilai kehidupan. Lebih lanjut, tugas PAI adalah mengakomodir peserta didik sebagai generasi umat Islam yang memiliki potensi diprediksi melakukan tindakan agresif dan kriminal. Utamanya, bagi mereka yang telah mengalami “kegagalan” dalam mengkonsep kepribadiannya dan yang mengalami benturan psikologis hebat, terutama di masa kecilnya. Cara lain adalah mengkonstruk tindakan dan nilai-nilai terorisme sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Kemudian merubah arah “semangat” beragama mereka menuju hal-hal yang jauh lebih berdampak positif bagi kehidupan seluruh umat manusia. Misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam memotivasi mereka untuk menciptkan karya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan Dalam mencari latar belakang penyebab terjadinya kekerasan, masih sulit diterima alasan bahwa aneka kekerasan itu hanya dipicu oleh provokasi para elit politik. Pun juga, logika manusia belum puas terhadap jawaban yang mengatakan pembakaran terhadap aneka tempat ibadah dan perkampungan dari kelompok etnis umat agama tertentu dilakukan oleh orang-orang yang tidak kuat imannya.[28] Di sinilah perlu analisis kritis adakah yang salah dengan pola “pengkaderan” generasi umat beragama. Lebih spesifik adakah yang salah dengan Pendidikan Agama termasuk PAI di lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga kekerasan masih jamak terjadi. Dikhawatirkan konsep keimanan yang dibangun dan dijadikan patokannya masih salah kaprah dan tidak utuh. Oleh karena itu, paling tidak dalam PAI harus ada upaya pencegahan secara aktif bagi peserta didik sehingga terhindar dari “kebiasaan” kekerasan. Dalam hal ini Bandura membuat sebuah skema tentang manipulasi psikologi pelaku kekerasan sehingga rela bertindak kejam sebagai berikut[29] - Mencari pembenaran atas nama moral dan agama - Penamaan label yang halus santun - Pembandingan dengan “kekerasan” yang lain Penafsiran ulang segala konsekuensi yang ada demi mendapatkan kemanfaatan bersama yang lebih tinggi - Dehumanisasi pengkaburan nilai-nilai kemanusisaan - Pelemparan kesalahan tanggung jawab Keterangan Tindakan tercela amoral penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perbuatan tersebut yang awalnya haram-terceal menjadi boleh-mulia bahkan wajib dilakukan. Timbul kerusakan/kerugian Kerusakan fisik dianggap sebagai simbol gerakan menekan “kemrosotan,” dengan dalih agar tujuan yang lebih mulia bisa tercapai. Korban manusia Pengorbanan tubuh manusia bahkan nyawanya dilakukan karena keadaan “terpaksa.” Manusia tidak lagi dianggap manusia melainkan hanya dijadikan tumbal perjuangan. Gambar 2. Mekanisme psikologi kekerasan dalam mengkonstruk pembenaran diri skema diadaptasi dari Albert Bandura Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya pelaku kekerasan menganggap bahwa merusak fasilitas umum dan melukai tubuh atau fisik barang orang lain adalah tindakan tercela berdosa dan diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela tersebut pelaku kekerasan mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan berbagai cara. Termasuk salah satunya mengkambing hitamkan penyebab pada pihak lain. Oleh karena itu, sesungguhnya pembelajaran PAI hendaknya bisa memberikan tekanan kepada peserta didiknya tentang wawasan dan standar etika global. Hal ini penting, selain karena mengakui hak hidup nyaman manusia lain, tapi juga untuk membangkitkan kesadaran dan mengkritisi standar etika kelompok atau otoritas yang belum tentu sesuai dengan standar etika global bahkan etika Islam. Dalam hal ini, biasanya individu atau kelompok tertentu memahami dan menghayati keagamaannya dari pihak otoritas. Misalnya, terafilisasi pada ideologi organisasi keagamaan tertentu, doktrin orang tua, guru utamanya guru agama, tokoh agama, dan pihak-pihak lain yang dianggap pantas menjadi panutan dan penentu arah hidupnya. Kenyataan tersebut sangat sulit sekali dirubah apalagi tatkala fanitisme tersebut sudah terlanjur melekat, sehingga sulit untuk mengikuti dinamika. Implikasinya, daya kritis seseorang terhadap pemahaman agama menjadi lemah, sehingga pemahaman agamanya bisa dibelokkan untuk kepentingan kekerasan. Padahal sudah menjadi pemahaman bersama bagi umat Islam bahwa kenyataan tentang “perbedaan” adalah sunatullah, sesuatu yang tidak bisa dihindari given. Di mana salah satu fungsinya hadir sebagai sarana ujian bagi manusia dari Allah SWT. Kenyataan di Indonesia, mempermasalahkan kehidupan cara beragama di Indonesia masih dianggap tabu. Di mana pemeluk agama dibiasakan selalu menerima ajaran agama tanpa diperbolehkan mengkritisi sedikitpun taking for granted. Implikasinya, kadang umat beragama akan merasa kehilangan daya kritis, inovaif, dan dinamis sehingga “lupa” caranya beragama dengan benar. Padahal, setiap pertanyaan yang diajukan hati nurani mengenai agama sebenarnya malah menjadi titik tolak baru untuk pendalaman dan penghayatan hidup beragama itu sendiri. Intinya, “ajaran” agama yang diutamakan hanya berhenti pada pemujaan Tuhan semata, sehingga berakibat memandang sepele terhadap etika kemanusiaan.[30] Pada akhirnya, karena keringnya etika tersebut, umat beragama akan menjadi ekslusif dalam penghayatan agama. Dengan demikian, Tuhan digambarkan hanya mengurusi umat beragama tertentu. Tuhan dipandang tidak mengurusi serta memberi kesempatan bagi umat yang lain untuk hidup nyaman di dunia ini. Dengan bahasa lain, seringkali umat beragama menyamakan antara sifat Ketuhanan dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Mereka begitu yakin bahwa Tuhan dapat marah seperti layaknya manusia cepat marah. Pun juga cepat percaya bahwa Tuhan mudah menaruh dendam seperti manusia yang serta merta menaruh dendam. Seakan-akan Tuhan hanya mencintai golongan tertentu sementara pada yang sama membenci yang lain, yang belum tentu jauh lebih buruk dariya. Dengan itu, mereka meyakini bahwa Tuhan memang menghendaki kematian atau kehancuran golongan “pelanggar” tersebut.[31] Bisa dikatakan, manusia seperti ini hanya membangun presepsi tentang Tuhan bukan berdasarkan teks-teks wahyu yang utuh tapi berdasarkan pengalaman dan kepentingan pribadi. Didasarkan pada penjelasan tersebut, PAI seharusnya melakukan pengembangan atau perubahan paradigma. Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan materi. Misalnya pengembangan terhadap materi sejarah Islam terkait peperangan yang selama ini seakan “membolehkan” peserta didik untuk melakukan kekerasan perang fisik. Seharusnya materi tentang sejarah peperangan dan kekerasan tidak boleh diberikan secara parsial, tendensius, dan hanya berbicara tentang kalah atau menang dominan. Namun, harus diberikan secara utuh serta lebih banyak memunculkan nilai-nilai etika dalam peperangan tersebut. Bila muatan etika lebih ditekankan maka nilai-nilai kemanusiaan akan nampak, bukan nilai-nilai kekerasan yang ditonjolkan. Dengan demikian, diharapkan ideologi yang disampaikan pada peserta didik tidak “menyesatkan” atau tidak akan ditafsirkan secara salah oleh mereka. Pada akhirnya, pembelajaran PAI bukan sekedar upaya untuk pemberian ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan materi, misalnya materi tentang peperangan. Akan tetapi sebagaimana menurut penjelasan di atas pendidik juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup pesan pembelajaran misalnya tentang moralitas akhlak kepada peserta didik yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain.[32] Komponen inilah yang ikut andil pada pemberian cetak biru khusus sehingga menjadi ciri utama pembelajaran PAI. Yakni, salah satunya dalam bidang pengendalian moralitas bangsa yang tidak lekat dengan tindakan kekerasan. Secara terperinci, dalam konteks pendidikan, yaitu penanaman ideologi agama yang benar utuh kepada peserta didik harus ditanamkan secara konsisten. Yakni, penanaman “ideologi” kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri. Artinya, untuk umat seagama sendiri bersikap lemah lembut tapi pada agama lain akan bersikap keras dan melemahkannya. Sebagaimana menurut menurut Syamsul Arifin bahwa “setiap gerakan fundamentalisme agama memiliki ideologi. Bagi gerakan sosial, keberadaan ideologi memiliki arti penting. Tanpa ditopang ideologi, keberadaan suatu gerakan sosial hanya akan menghadapi ketidakpastian yang berkepanjangan.” Kritik sosial dan gerakan fundamentalis tersebut ditujukan kepada berbagai macam penyakit sosial yang menimbulkan krisis kehidupan masyarakat. Krisis inilah yang ingin disematkan oleh mereka dengan mengembalikan pada tatanan kehidupan ideal pada masa lalu. Serta memberikan janji kemuliaan di masa akan datang eksatologis.[33] Perspektif Interdisipliner Penggunaan perspektif interdisipliner dalam pengembangan PAI pada zaman sekarang ini sangat penting. Selain karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, juga dilandaskan pada pandangan bahwa penggunaan ayat kauliyah saja sebagai dasar utama PAI tidak cukup. Namun perlu, ayat-ayat kauniyah sebagai sumbangan bagi pengembangan PAI. Baik dalam bidang materi, strategi, tujuan, media, dan komponen pembelajaran lainnya. Oleh karena itu, untuk memfungsikan PAI secara optimal, salah satu konsep Muhaimin adalah dengan mengarahkan truth claim dengan tepat dan sah.[34] Berangkat dari pernyataan tersebut maka penulis memandang penting mengkaji tema “kekerasan” yang ditinjau melalui kajian psikologi, sosiologi, dan biologi. Pertama, kajian psikologi. Bila dikaitkan dengan psikologi menurut Abuddin Nata pendidikan adalah pemindahan transmission nilai-nilai, ilmu, dan kecakapan dari generasi tua kepada generasi muda dalam rangka melanjutkan serta memelihara identitas peradaban dan kepribadian masyarakat tersebut. Di mana dalam proses transmisi “kepentingan” masyarakat tersebut, psikologi memiliki peran yang sangat penting.[35] Salah satu caranya adalah melakukan proses pembelajaran dengan metode nirkekerasan. Hal ini perlu dilakukan karena menurut Bashori Muchsin seorang anak yang didik dalam balutan kekerasan, suatu saat pengalaman kekerasan tersebut berpotensi besar akan ditiru oleh mereka di saat dewasa kelak.[36] Lebih lanjut, kekerasan biasanya diidentikkan dengan agresifitas. Di mana Freud dan Lorenz sebagaimana yang dikutip Fromm memandang bahwa agresifitas seseorang merupakan sifat bawaan genetis. Freud mengemukakan teori tentang insting, yaitu insting kehidupan eros dan insting kematian death instinct. Insting kematian bisa tertuju pada organisme itu sendiri yang beruwujud dorongan perusakan diri dan tertuju pada pihak luar. Dengan demikian, agresi bukanlah reaksi terhadap stimulus dari luar, tapi dorongan dari dalam diri sendiri yang menggelora dan berakar dari kondisi biologis otak manusia.[37] Selanjutnya, sebagaimana menurut Lorenz, kehendak untuk agresif tersebut sebagai insting suatu saat akan “meledak” meski tak ada rangsangan dari luar. Hal ini bisa terjadi bila “energi” yang tak tertahan mempat tak bisa ditampung lagi. Asumsinya, manusia dan binatang biasanya tidak akan pasif dalam menemukan stimulus tersebut. Bahkan, cenderung mencari dan bila perlu menciptakan stimulus. Dalam konteks sosial, manusia akan melepaskan “energi” dorongan agresifnya dalam bentuk “mencari perkara.” Misalnya, membuat partai politik yang bisa menyebabkan timbulnya agresi kepada orang lain. Namun, bila sama sekali tidak ada sitimulus yang dapat ditemukan dan diciptakan, maka dorongan agresif yang tertahan tidak dilampiaskan akan menjadi demikian besar dan siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurut Lorenz agresi pada dasarnya bukan respon atas stimulus dari luar. Melainkan rangsangan dalam diri yang sudah “terpasang,” sehingga butuh pelampiasan dan akan terekspresikan meski mendapat stimulus dari luar yang kecil. Model agresi ini sama seperti model libido Freud, yang dinamai model “hidrolik.” Yakni, tekanan yang ditimbulkan oleh air atau uap dalam tabung tertutup.[38] Teori lain terkait dengan tindakan kekerasan adalah “kefrustasian.” Menurut Buss sebagaimana dikutip Fromm, fursatasi adalah penghilangan hasrat atau keinginan dari individu yang ingin mencapai tujuan tertentu, sehingga terjadi “putus harapan.” Misalnya seorang anak yang meminta roti kepada ibunya lalu ibunya menolak, atau seorang pria yang menembak wanita tapi hasilnya mendapat penolakan. Lebih rinci, timbulnya frustasi salah satunya ditentukan oleh karakter seseorang. Misalnya, seseorang yang sangat rakus, akan sangat marah bila ia tidak memperoleh makanan yang ia inginkan. Begitu pula orang kikir, akan sangat marah bila harus membayar makanan yang terlalu mahal. Adapun karakter narsistik akan meras frustasi bila tidak mendapatkan sanjungan penghormatan sesuai dengan yang dikehendaki.[39] Namun, pernyataan tersebut dikritisi oleh Fromm. Ia berpendapat bahwa tidak ada hal istimewa, besar, dan membanggakan yang dapat diraih tanpa terlebih dahulu mengalami frustasi. Terlebih untuk menuju pencapaian pada tingkat keahlian tinggi. Dengan kata lain, tanpa kemampuan dalam menerima sekaligus mengalami frustasi manusia nyaris tidak dapat berkembang sama sekali. Asumsinya, dalam kehidupan sehari-hari banyak diketahui orang sedang mengalam frustasi tekanan tapi tidak memperlihatkan respon agresif. Meski, yang kerap memunculkan agresi adalah sesuatu yang diartikan disebut sebagai frustasi. Serta makna frustasi secara psikologis tentunya berbeda sesuai dengan kondisi sosial. Dari semua pembahaan di atas, upaya pencegahan PAI agar tidak terciptanya kekerasan adalah dengan penekanan empati –misalnya konsep altruisme positif– pada pembelajarannya. Di mana empati sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan etika konsep baik dan buruk. Dengan kata lain, PAI idealnya bisa menumbuhkan empati peserta didik terhadap umat beragama lain. Salah satu caranya adalah melalui passing over lintas batas/sekat. Secara rinci Syamsul Arifin menyatakan[40] Adanya suatu yang hilang dari agama, yaitu daya jelajah agama yang memungkinkan setiap orang melakukan ziarah spiritual – yang oleh John S. Donne disebut dengan passing over, kecuali akan menambah wawasan intelektual agama lain yang diperolehnya secara fenomenologis. Juga, akan dapat memperkaya pemahaman spiritual yang sebelumnya diperkaya oleh agama yang dipeluknya. Lantas bagaimana individu dapat keluar dari penyandraan formalitas agama, sehingga bisa melakukan perjumpaan secara mendalam dengan agama lain? Semua itu menurut Syamsul Arifin, tergantung pada proses pembelajaran atas agama yang dipeluk.[41] Namun demikian, empati tidak boleh diwujudkan dengan menggunakan simbol-simbol agama lain dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan melakukan ibadah agama lain. Penggunaan empati di sini cukup sebatas pada perkataan dan perilaku toleran dalam urusan muamalah yang tidak menjurus pada ritual keagamaan. Pernyataan tersebut sebagaimana saran Gadner pencetus teori multiple intelligences terhadap guru, bahwa mereka harus melatih anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan pribadi intrapersonal di sekolah.[42] Lebih konkrit Gadner memandang penting adanya “flow” dalam setiap pembelajaran. Menurut Daniel Goleman “Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Dengan kata lain, segala tindakan yang dilakukan berasal dari kesadaran diri bukan paksaan atau doktrin buta dari orang lain.[43] Kedua, kajian sosiologi. Di era sibernetika komunikasi seperti sekarang ini, seseorang semakin pontesial untuk dimanipulasi “pikirannya.” Baik itu dalam bidang profesi, konsumsi, dan ideologinya. Sebagaimana dalam konsep “pembiasaan positif” milik Skinner. Dalam kacamata ini, individu kehilangan “kesadaran” kritisnya dalam proses sosial. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia menjadi objek yang telah dikontrol oleh sosial, sehingga apabila tindakan dan pemikirannya tidak sesuai dengan tatanan sosial akan sangat merugikan bagi dia. Bila ia bertekat tetap menjadi dirinya sendiri, maka akan kehilangan identitas status, terisolasi terkucil, diusir, dan bahkan kehilangan nyawanya.[44] Hal ini tentunya juga dalam mewujudkan ekpresi keagamaan individu. Dalam praktik beragama, seseorang biasanya hanya ikut-ikutan absolutisme agama tanpa terlebih dahulu mengkritisi. Sebagaimana menurut Muchsin dan Wahid bahwa[45] Dalam kajian sosiologi, agama dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu pertama, emosi keagamaan yang menyebabkan manusia memiliki rasa dan semangat beragama; kedua, sistem keyakinan yang mencakup segala keyakinan terutama terhadap Tuhan dan kehidupan ghaib, termasuk juga sistem nilai dan moral; ketiga, sistem ritus sebagai upaya manusia mengadakan hubungan dan melakukan pendekatan kepada Tuhan dan sikapnya menghadapi lingkungannya; dan keempat, konsep umat atau solidaritas sosial yang menganut sistem agama tersebut. Lebih tegas, Syamsul Arifin menyatakan bahwa agama hanya digunakan sebagai pembentuk identitas diri dan kelompok. Dampaknya, dalam antropologi berpotensi pada penciptaan bounded system. Pada akhirnya muncul sikap psikosiologis, yaitu in group feeling dan out group feeling. Selanjutnya, sebagai pemerkokoh identitas, suatu komunitas agama melakukan pengembangan narasi besar yang bersumber dari Tuhan. Serta memunculkan ekspresi keagamaan tertentu dalam skala masif sebagai wujud public expose, sehingga menjadi penegas perbedaan antara kelompok agama tersebut dengan yang lainnya Syamsul Arifin, Dengan kata lain telah terjadi penutupan peluang untuk melakukan hubungan sosial dialog antar umat beragama. Di sinilah nampak terjadi pelemahan kecerdasan intrapersonal, kematian sikap kritis, dan ketiadaan “kesadaran subjektif” pemeluk agama dalam mengekspresikan dan mengahayati agamanya. Dari pembahasan tersebut maka pembelajaran PAI hendaknya bisa menumbuhkan kecerdasan spiritual peserta didik. Dimana menurut Danah Zohar dan Ian Marshall bahwa “ada tiga sebab yang menjadikan manusia dapat terhambat secara spiritual mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali. b. telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proposional, atau dengan cara yang negati atau destruktif. c. bertentangan atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.”[47] Lebih detail, menurut Zohar yang dikutip oleh Agus Efendi bahwa ada tujuh langkah praktis kecerdasan spiritual yang lebih tinggi. Di antaranya meliputi kesedaran akan keberadaan diri di mana sekarang?, merasakan keinginan kuat untuk berubah, merenung dan menanyakan motivasi terdalam, menemukan dan mengatasi rintangan, menggali banyak peluang untuk melangkah maju, ketetapan hati pada sebuah jalan, dan kesadaran akan banyak jalan lain.[48] Lebih detail, semangat kesuksesan untuk selalu menjadi lebih baik memberikan semangat manusia mencari jalan bagi spiritualnya.[49] Yakni, ketenangan hidup dan makna hidup. Semua itu tidak bisa terpenuhi hanya dengan kelimpahan materi, ketinggian jabatan, dan popularitas. Sebaliknya, keutuhan spiritual dapat dicapai dengan meningkatkan integritas diri, penghormatan komitmen pada kehidupan, dan penyebaran kasih sayang serta cinta. Namun demikian, hal-hal tersebut tidak berhubungan lansung dengan ritual agama. Artinya, tidak selalu orang yang rajin shalat, sering naik haji adalah orang yang memiliki spiritualitas tinggi dan utuh. Bahkan banyak agamawan yang kehilangan spiritualitas karena terlalu banyak mengandalkan ritual, upacara, dan formalitas agama. Dengan demikian, antara ritualitas simbol dan spiritualitas merupakan dua hal yang berbeda walaupun berkaitan.[50] Ketiga, kajian biologi. Salah satu materi yang dikaji pada biologi adalah otak. Di mana otak merupakan organ vital utama manusia selain jantung dan paru-paru. Implikasinya, manusia secara fisik tanpa otak tidak akan berarti apa-apa, seluruh organ dalam dan panca indra tak akan berfungsi. Inilah yang disebut dengan kematian meninggal dunia secara fisik. Bisa dikatakan bahwa keadaan otak manusia secara fisis-biologis sangat menentukan bagi perkembangan kecerdasan.[51] Menurut Agus Efendi, tentang rahasia otak beserta kecerdasaannya[52] sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan, bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga kategori yaitu otak rasional, otak emosional,[53] dan otak spiritual.[54] Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Pasiak bahwa otak merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai alat. Fungsi otak tidak hanya untuk berpikir rasional. Namun fungsi otak terdiri dari 3 jenis kemampuan untuk memanajemen diri seperti mengutuhkan spiritualitas SQ, mematangkan emosi EQ, dan berpikir rasional IQ. Bila ketiga fungsi otak tersebut dikelola dengan baik, manusia akan menjadi makhluk termulia.[55] Bisa dikatakan, otak manusia menurut Zohar dan Marshall jauh lebih kompkes dari pada komputer manapun. “Otak bekerja dengan sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem asosiatif yang terisolasi.” Akan tetapi dua sistem tersebut berinteraksi dan saling menguatkan sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi. Artinya, antara IQ dengan EQ terjadi sinergitas.[56] Selain otak, secara biologis menurut Baron dan Byrane sebagaimana dikutip Rifa Hidayah bahwa perilaku agresi seseorang juga dipengaruhi oleh hormon tertentu, seperti serotonin dan testoterone.[57] Lebih detail, Iin Tri Rahayu menyampaikan bahwa menurut Davidoff diantara faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi adalah[58] 1. Gen. Pembentukan sistem neural saraf otak dipengaruhi oleh gen dalam mengatur perilaku agresi. 2. Sistem otak. Bagian otak tertentu yang tidak terlibat dalam agresi dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Prescott menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kesenangan nikmat dan rasa santai akan cenderung sedikit melakukan agresif, begitu sebaliknya. Ia juga meyakini, keinginan yang kuat untuk “menghancurkan” disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal. Hal ini bisa saja disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan waktu bayi. 3. Kimia darah khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan. Fenomena ini misalnya terjadi pada wanita yang sedang mengalami haid, di mana kadar hormon esterogen dan progresteron menurun. Perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang, dan bermusuhan. Kenyataannya, banyak wanita yang melakukan pelanggaran agresi pada saat berlangsungnya siklus haid. Pernyataan tersebut hampir sama dengan pendapat Lyndon Saputra, sebagaimana dikutip Abudin Nata bahwa menurut teori disiplin mental ternyata manusia sejak dari lahir telah memiliki potensi bawaan secara gen hereditas. Dalam posisi ini, maka makna belajar merupakan upaya pengembangan terhadap potensi-potensi tersebut. Selanjutnya, Abudin Nata menjelaskan dalam teori mental humanistik, proses pendidikan lebih menekankan pada keseluruhan dan keutuhan. Artinya, pendidikan harus menekankan pendidikan umum general education. Asumsinya, bila individu menguasai persmasalahan umum, maka akan mudah diterima lalu diterapkan pada hal-hal lain yang bersifat khusus.[59] Namun tampaknya, nilai-nilai keuniversalan agama Islam inilah yang sering kali ditinggalkan dalam pembelajaran PAI. Di mana, kegiatan pembelajaran hanya difokuskan pada masalah fikih dan dibelokkan pada sentimen keagamaan yang menutup diri dari kenyataan bahwa “di luar” sana ada keberagaman agama. f. Metode penelitian yang digunakan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Di mana, studi kualitatif yagn dimaksud di sini dikonsep berdasarkan interdisipliner yang berawal dari pendekatan psikologi, biologi, dan sosiologi. Ketiga disiplin ilmu tersebut digunakan sebagai sumber jawaban terhadap permasalah yang ditemukan di lokasi penelitian. Melalui interdisipliner diharapkan analisis dan hasil penelitian bisa menjangkau berbagi aspek sehingga bisa tercapai kesimpulan yang menyatu utuh dan menyeluruh. Daftar Rujukan Amin, A. Rifqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta LKiS, 2015. -. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta Deepublish, 2014. -. “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang Dioma, 2000. -. Studi Agama Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer. Malang UMM, 2009. Armstrong, Thomas. “Seven Kinds of Smart Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart Identifying and Developing Your Multiple Intelligence, terj. T. Hermaya. Jakarta Gramedia, 2005. Bandura, Albert “Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto. Jakarta RajaGrafindo Persada, 2003. Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21 Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung Alfabeta, 2005. Efendi, Mohammad. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta Bumi aksara, 2006. Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru]. Jakarta Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005. Fromm, Erich. “Akar Kekerasan Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001. Ganda, Yahya. Petunjuk Praktis Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi. Jakarta Grasindo, 2004. Goleman, Daniel. “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence Terj. T. Hermaya. Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1999. Hardjana, Agus M. Kiat Sukses Studi di Perguruan Tinggi. Yogyakarta Kanisius, 1994. Hidaya, Rifa. “Dampak Tayangan Kekerasan pada Anak,” dalam Psikoislamika, Vol. 1/ 2004. Hutabarat, Belajar Pedoman Praktis untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa Saja yang Belajar di Perguruan Tinggi. Jakarta Gunung Mulia, 1988. Jurgensmeyer, Mark. “Teror Atas Nama Tuhan Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta Nizam, 2002. Muchsin, Bashori dan Wahid, Abdul. Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung Refika Aditama, 2009. Muchsin, Bashori, dkk. Pendidikan Islam Humanistik Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung Refika Aditama, 2010. Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya PSAPM, 2003. Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam. Malang UIN Maliki, 2011. Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy. Jakarta Rajawali, 2009. Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup. Bandung Mizan. Rahayu, Iin Tri. “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam PsikoIslamika, Vol. 1/ 2004. Riyanto, Armada. “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam Agama Kekerasan Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang Dioma, 2000. Sutrisno dan Muhyidin Albarobis. Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial. Jogjakarta Ar-Ruzz Media, 2012. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya Jakarta Cemerlang, 2003. Zaini, Hisyam. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Yogyakarta Center for Teaching Staff Development IAIN Yogyakarta, 2002. Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab. Malang Uin Malang, 2010. Zohar, Danah dan Marshall, Ian. “SQ Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk. Bandung Mizan, 2007. Halaman Lampiran 1. Lampiran Buku A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner Yogyakarta LKiS, 2015 2. Lampiran Jurnal Penelitian a Judul Curriculum Development Model Islam Character Based Education Studies Analysis in SMKN 2 Pandeglang Banten b Pengarang Sisti Muhibah 3. Lampiran Jurnal Penelitian a Judul Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu Insantama Bogor b Pengarang Agus Retnanto 4. Lampiran Jurnal Artikel a Judul Strategizing Islamic Education b Pengarang Muhammad Syukri Salleh c Sumber International Journal of Education and Research Vol. 1 No. 6 June 2013ISSN 2201-6333 Print ISSN 2201-6740 Online, dalam didownload tanggal 03 Juli 2015. [1]Pada pengembangan PAI harus dibumikan kembali bahwa pendidikan merupakan bagian kecil dari sistem kehidupan. Dengan demikian, secara konsep maupun praktik PAI tidak dapat berdiri sendiri. Ia senantiasa terkait dengan sistem lainnya seperti ekonomi, politik, budaya, perindustrian, dan sebagainya. Oleh karena itu, mekanisme pengembangan PAI mesti menyadari bahwa peserta didik kelak akan menjalani kehidupan “nyata” di luar lembaga pendidikan. Hal ini bukan berarti demi kesuksesan peserta didik pada setiap pengembangan yang dilakukan menghalalkan segala cara. Namun, ia dengan sekreatif mungkin mampu mengemas nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam sistem-sistem itu. [2]A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner Yogyakarta Lkis, 2015 [3]Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial Jogjakarta Ar-ruzz Media, 2012, hlm. 51. [4]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya Jakarta Cemerlang, 2003. [5]Pengembangan di sini bukan berarti suatu tindakan yang anti konservatif. Sebaliknya, suatu pengembangan kadang kala diadakan dalam misi penyuksesan fungsi konservasi penyelamatan. Yakni, menjaga dan memunculkan kembali nilai-nilai agama Islam yang luhur serta universal dari penyimpangan pemahama parsial dan penenggelaman. [6]Hasil yang didapat dari pengembangan PAI diharapkan bisa membahagiakan lahir-batin, menjadi kabar gembira, menjadi solusi inspirasi, dan menawarkan konsep keilmuan yang kokoh bagi umat manusia. [7]Suatu masalah di lembaga biasanya dapat diketahui secara utuh bila di lembaga bersangkutan diadadakan penelitian secara mendalam dan totalitas. Namun, yang sering terjadi adalah dalam satu daerah diadakan penelitian terhadap beberapa lembaga yang menghasilkan suatu kesimpulan. Kemudian dari kesimpulan itu secara disamaratakan dengan lembaga lain. Padahal antar satu lembaga satu dengan yang lain meski masalahnya sama, tapi boleh jadi penyebabnya berbeda. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah pada suatu lembaga tidak bisa serta-merta mengambil solusi dari hasil penelitian lembaga lain. Akan tetapi harus diadakan penelitian tersendiri terhadap lembaga yang bermasalah tersebut. [8]Bila dilihat dari sudut pandang ilmu alam maka PAI merupakan sebuah ilmu terapan. Yakni, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penerapan atas prinsip-prinsip umum untuk memecahkan permasalahan yang terjadi di alam dan masyarakat manusia. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan Luring,” KBBI Offline Versi didownload tanggal 21 April 2014.. Sedangkan dalam pandangan sosiologi, PAI merupakan ilmu murni. Yakni, dalam konteks Islam merupakan ilmu yang terfokus pada pencarian pengetahuan, gejala alam ayat kauniah, analisis tafsir, dogma-dogma, dan dasar-dasar pendidikan Islam. [9]Landasan Pengembangan PAI idealnya bertitik tolak pada pemikiran yang mendalam hingga ke akar-akarnya terkait logika, etika, estetika, metafisika, hingga epestimologi, ontologi, dan aksiologi sebagai penunjang dalam merumuskannya. Beberapa di antaranya, pertama pengembangan PAI mesti berakar pada pijakan teori atau konsep yang sudah kuat. Hal ini, salah satunya supaya setiap pengembangan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Kedua, pengembangan PAI idealnya disandarkan pada suatu penelitian utamanya yang dilakukan di tingkat daerah sekitar kota/kabupaten. Serta penelitian di tingkat propinsi dan nasional sebagai penunjang pengembangannya. Salah satu langkahnya adalah memanfaatkan gabungan beberapa karya ilmiah lulusan perguruan tinggi. Misalnya skripsi, tesis, dan disertasi yang utamanya berasal dari fakultas Pendidikan. Ketiga, pengembangan PAI haruslah mempunyai daya keterukuran tidak utopis dan tidak terlalu membebani Sumber Daya Manusia dan pemborosan finansial. Harapannya, agenda pengembangan tersebut berpeluang untuk dikaji kembali apabila ada kekurangan. [10]A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum Yogyakarta Depublish, 2014 hlm. [11]Hisyam Zaini, Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi Yogyakarta Center for Teaching Staff Development IAIN Yogyakarta, 2002, 4. [12]Yahya Ganda, Petunjuk Praktis Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi Jakarta Grasindo, 2004, x. [13]Agus M. Hardjana, Kiat Sukses Studi di Perguruan Tinggi Yogyakarta Kanisius, 1994, 34. [14] Hutabarat, Cara Belajar Pedoman Praktis untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa saja yang Belajar di Perguruan Tinggi Jakarta Gunung Mulia, 1988, 115-116. [15]Andreas Anangguru Yewangoe, “Agama dan Kerukuanan,” Buku Google, http// diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. 40. [16]Ganda, Petunjuk Praktis Cara, 2. [17]Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan Jakarta Bumi aksara, 2006, hlm. 97. [18]Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ Bandung Alfabeta, 2005, hlm. 22-23. [19]M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab Malang Uin Malang, 2010, hlm. 34-35. [20]Flow adalah perasaan “kehilangan” kesadaran ruang dan waktu. Menurut Daniel Goleman “flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence ed. T. Hermaya Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 127. Lebih lanjut menurut Gardner, flow dan keadaan positif yang mencirikannya sebagai salah satu cara paling sehat untuk mengajar anak-anak. Juga memberi motivasi mereka dari dalam diri, bukannya dengan ancaman atau iming-iming. Dengan kata lain, pendidik harus menggunakan keadaan positif anak-anak untuk membuat mereka tertarik mempelajari bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan keahlian. Flow merupakan keadan batin yang menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak didik harus menemukan sesuatu yang disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 132. [21]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan Jakarta Kencana, 2007, hlm. 101-102. [25]Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam Malang UIN Maliki, 2011, hlm. 103-104. [26]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 2. [27]Mark Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama Tuhan Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail Jakarta Nizam, 2002, hlm. 9. [28]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama Kekerasan Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto Malang Dioma, 2000, hlm. 24. [29]Albert Bandura, “Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto Jakarta RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 206. [30]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama Kekerasan Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto Malang Dioma, 2000, hlm. 24-25. [31] Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup,” hlm. 24-25. [32]Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru] Jakarta Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005, hlm. 51. [33] Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer Malang UMM, 2009, hlm. 199. [34]Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Surabaya PSAPM, 2003, hlm. 170-172. [35]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy Jakarta Rajawali, 2009, hlm. 163. [36]Bashori Muchsin, dkk. Pendidikan Islam Humanistik Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak Bandung Refika Aditama, 2010, hlm. 109. [37] Erich Fromm, “Akar Kekerasan Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 6. [38] Fromm, “Akar Kekerasan Analisis,” hlm. 8-9. [39] Fromm, “Akar Kekerasan Analisis,” hlm. 83-84. [40]Syamsul Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto Malang Dioma, 2000, hlm. 51. [41]Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik,”, hlm. 51. [42]Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 56. [43]Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 127. [44]Fromm, “Akar Kekerasan Analisis,” hlm. 45. [45]Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer Bandung Refika Aditama, 2009, hlm. 47-48. [47]Danah Zohar dan Ian Marshall, “SQ Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, ed. Rahmani dkk Bandung Mizan, 2007, hlm. 144. [48]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, 236-237. [49]Pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual. Manusia terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar dan pokok. Mengapa saya dilahairkan? Apa makn hidup saya? Apa yang membuat semua itu berharga? Manusia merindukan untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang telah diperbuat dan dialami. [50] Taufiq Pasiak, Manajemen Kecerdasan Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup Bandung Mizan, hlm. 255. [51]Setiap kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu; menurut garder teori kecerdasan dapat berlaku bila didasarkan pada biologi struktur otak. Kecerdasan linguistik berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal, spasila, dan antarpribadi cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan kinestetik menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum otak kecil. Thomas Amstrong, “Seven Kinds of Smart Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart Identifying anda Developing Your Multiple Intelligences ed. T. Hermaya Jakarta Gramedia, 2005, hlm. 7. [52]Pembahasan mengenai teori “kecerdasan,” pada awalnya identik dengan dunia Psikologi, akan tetapi ilmu biologi utamanya bidang neurosains juga memiliki peran yang tak kalah penting. Dengan demikian pembahasan terkait “kecerdasan” bukanlah kajian dunia abstrak terkait proses berpikir dan berimajenasi. Namun juga menenyuh aspek “organ” tubuh manusia yang memiiki peran utama dalam “menyusun” kecerdasan, yaitu otak dan yang bersangkut paut dengannya. [53]Menurut penulis dalam otak emosional terdapat kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional berarti “kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadap frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban strest tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdoa.” Lihat, Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 45. [54]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 55. [55]Pasiak, Manajemen Kecerdasan Memberdayakan, hlm. 250-251. [56]Zohar dan Ian Marshall, “SQ Kecerdasan Spiritual,” hlm. 50. [57] Rifa Hidayah, “Dampak Tayangan Kekerasan Pada Anak,” dalam Psikoislamika, 2004. hlm. 203-216. [58] Iin Tri Rahayu, “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam Psikoislamika, 2004. hlm. 167-175. [59]Nata, Tafsir Ayat-Ayat, hlm. 172-173.
1 Prinsip universal (syumuliah).[2] Prinsip yang memandang keseluruhan aspek Agama (aqidah, ibadah, dan akhlak, serta muamalah), manusia (jasmani, rohani, dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud jagat raya dan hidup. 2. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun iqtishadiah). Prinsip ini adalah keseimbangan
Pertanyaan Tentang Tujuan Pendidikan Islam Admin mengumpulkan dari berbagi sumber terkait Pertanyaan Tentang Tujuan Pendidikan Islam. Tanya Jawab Ringkas Edisi 117 Majalah Islam Asy Syariah Sumber Gambar Http E Repository Perpus Iainsalatiga Ac Id 3860 1 Skripsi 20pdf Pdf Sumber Gambar Tujuan Pendidikan Islam Studi Sumber Gambar Vzvtxdl1izadim Sumber Gambar Pdf Perbandingan Profil Bertanya Siswa Dengan Menggunakan Model Sumber Gambar Tanya Jawab Tentang Filsafat Pendidikan Islam Dan Upaya Pembaruan Sumber Gambar Berikut informasi sepenuhnya tentang pertanyaan tentang tujuan pendidikan islam. Admin blog Dalam Tujuan 2019 juga mengumpulkan gambar-gambar lainnya terkait pertanyaan tentang tujuan pendidikan islam dibawah ini. Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Dimana Allah Sumber Gambar Untuk Apa Belajar Itu Tujuan Belajar Menurut Ulama Sumber Gambar Metode Pendidikan Islam Farhansyaddad Weblog Sumber Gambar Filsafat Pendidikan Hakikat Dan Tujuan Pendidikan Islam Pptx Sumber Gambar Hakikat Manusia Menurut Islam Sumber Gambar Ujian Akhir Semester Rekonstruksi Sistem Dan Pemikiran Pendidikan Sumber Gambar Pendidikan Agama Islam Dan Buku Pekerti Luhur Buku Guru Pages Sumber Gambar Doc Daftar Pertanyaan Pendidikan Pancasila Myranda Aprillia Sumber Gambar Https Pdfs Semanticscholar Org Dd0c 6b28c104babf255d82d12fff0073fcc4a670 Pdf Sumber Gambar Soal Dan Jawaban Evaluasi Pembelajaran Sumber Gambar Hakikat Pendidikan Pemikiran Ulang Landasan Filosofis Halaman 1 Sumber Gambar Hakikat Pendidikan Pemikiran Ulang Landasan Filosofis Halaman 1 Sumber Gambar Online Public Access Catalog Perpusnas Ri Sumber Gambar Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan mengenai pertanyaan tentang tujuan pendidikan islam. Terima kasih telah berkunjung ke blog Dalam Tujuan 2019. Postingan populer dari blog ini Berikut Yang Bukan Merupakan Tujuan Dari Promosi Adalah Koleksi admin mengenai Berikut Yang Bukan Merupakan Tujuan Dari Promosi Adalah. Terbaru 4 Strategi Pemasaran Produk 2020 Contohnya Sumber Gambar Heat Press Mart Fulry Home Facebook Sumber Gambar Https Www Studocu Com Id Document Universitas Bina Nusantara Entrepreneurship Lecture Notes Market Research Entrepreneur 1 3637541 View Sumber Gambar Ethiopianlovehi Com Sumber Gambar Marketing Mix Adalah Pengertian Tujuan Konsep Bauran Pemasaran Sumber Gambar Https Www Cybersecurity My Data Content Files 12 1632 Pdf Sumber Gambar Inilah pembahasan lengkap terkait berikut yang bukan merupakan tujuan dari promosi adalah. Admin blog Tujuan Atau Hasil Yang Ingin Dicapai Oleh Wirausaha Sosial Yaitu Jika ada sedang mencari Tujuan Atau Hasil Yang Ingin Dicapai Oleh Wirausaha Sosial Yaitu. Apa Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Sumber Gambar 8 Wirausaha Sosial Indonesia Masuk 100 Social Venture Challenge Sumber Gambar Aspek Aspek Dalam Berwirausaha Binus University Bandung Sumber Gambar 8 Wirausaha Sosial Ri Masuk 100 Social Venture Challenge Asia Sumber Gambar Https Www Upj Ac Id Userfiles Files 1 20konstruksi 20model Pdf Sumber Gambar Wirausaha Pengertian Ciri Dan Tujuan Jojoblog Sumber Gambar Inilah pembahasan lengkap terkait tujuan atau hasil yang ingin dicapai oleh wirausaha sosial yaitu. Admin blog Dalam Tujuan 2020 juga men Jelaskan Apa Tujuan Dari Pementasan Seni Teater Berikut data lengkap tentang Jelaskan Apa Tujuan Dari Pementasan Seni Teater. Penonton adalah unsur penting dalam pementasan drama. Unsur unsur dalam pemeranan dapat kalian ketahui melalui pembelajaran teori dan praktik dengan materi berupa teknik pemeranan. Perancangan Pementasan Sumber Gambar Spotlight Sebuah Pertunjukan Teater Sambodo Sondang Medium Sumber Gambar Pengertian Seni Teater Sejarah Ciri Fungsi Jenis Contoh Sumber Gambar Seni Teater Pengertian Sejarah Contoh Gambar Ciri Jenis Sumber Gambar Tujuan Pertunjukan Musik Bagi Siswa Di Sekolah Sumber Gambar Drama Pengertian Jenis Unsur Struktur Tujuan Dan Manfaatnya Sumber Gambar Sebutkan Tujuan Perancang Panggung Yang Membuat Setting Karya Seni Teater Apakah anda sedang mencari informasi Sebutkan Tujuan Perancang Panggung Yang Membuat Setting Karya Seni Teater. Jenis jenis seni teater berdasarkan penyampaiannya jenis jenis teater menurut penyampaiannya dibagi menjadi lima jenis yaitu teater boneka drama musikal teater gerakpantomim teater dramatik dan teaterikalisasi puisi. Perbedaan jenis panggung ini dipengaruhi oleh tempat dan zaman dimana teater itu berada serta gaya pementasan yang dilakukan. Seni Teater Untuk Smp Mts Kelas Vii Viii Dan Ix Seni Teater Sumber Gambar Untitled Sumber Gambar Seni Teater Untuk Smp Mts Kelas Vii Viii Dan Ix Seni Teater Sumber Gambar Smp 7 Seni Teater Sumber Gambar Identifikasi Kiprah Dan Jaringan Teater Di Kalimantan Timur Apa Tujuan Pemain Musik Melakukan Eksplorasi Bunyi Berikut detail informasi tentang Apa Tujuan Pemain Musik Melakukan Eksplorasi Bunyi. Buku Siswa Kelas 10 Seni Budaya Semester 1 Pages 101 150 Text Sumber Gambar Freediving And Snorkeling With Kids In Menjangan Island Bali Sumber Gambar Notula Lintas Media Ruang Suara Objek Bunyi Dewan Sumber Gambar Bab 4 Kelas X Seni Budaya Sumber Gambar Http Digilib Isi Ac Id 1057 21 Jurnal 20 20lageb 20mubatin Pdf Sumber Gambar Iwansuwandy Page 13 Iwansuwandy S Blog Sumber Gambar Itulah yang dapat kami bagikan terkait apa tujuan pemain musik melakukan eksplorasi bunyi. Admin blog Dalam Tujuan 2020 juga mengumpulkan gambar-gambar l
Adabanyak hal yang menjadi pertanyaan dalam Islam, seperti: syariah, fikih, syar'i, taklifi, dll. Baca juga: - Doa agar anak cerdas - Perwujudan kerjasama di lingkungan sekolah. Nah itulah soal dan jawaban tentang hukum Islam, mohon koreksi jika ada kesalahan. Terima kasih sudah membaca Pertanyaan tentang hukum Islam dan jawabannya dan
PERUMUSAN VISI DAN MISI SEBAGAI ORIENTASI PENGELOLAAN PENDIDIKAN ISLAM oleh Hujair AH. Sanaky, Dr. MSI Perubahan dan inovasi merupakan kata kunci dan dijadikan sebagai titik tolak dalam mengembangkan pendidikan pada umumnya. Dalam pengelolaan program-program pendidikan, diperlukan perumusan visi, misi, orientasi, strtaegi, tujuan dan perioritas yang dituju secara jelas, sehingga dalam pelaksanaan dan pengambangan program pendidikan selau berorientasi kepada visi dan misi yang telah ditetapkan tersebut. Pada era sekarang ini, pengelola pendidikan juga dihadapkan pada tuntutan manajemen kualitas penjaminan mutu quality assurance pendidikan, sehingga lembaga dan institusi pendidikan mulai mengguna kan manajemen mutu dan kemudian merumuskan dan menetapkan visi dan misi sekolah atau madrasah masing-masing untuk memenuhi tuntutan tersebut. Lembaga dan institusi pendidikan Islam, mulai dari madrasah ibtidaiyah sampai dengan perguruan tinggi Islam telah merumuskan visi dan misi masing-masing sebagai tuntutan kualitas penjamin mutu quality assurance atau Quality Management System pendidikan dengan berbagai gaya bahasa. Katakan saja ada yang merumuskan visi pendidikan Islam adalah pendidikan yang unggul, berilmu, terampil, berakhlakul karimah, mewujudkan insan beriman, bertaqwa, dan beramal. Sedangkan misi pendidikan Islam adalah pendidikan yang akan menjadikan peserta didik unggul di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; bersikap mandiri; terampil dalam penguasaan teknologi informasi; terampil dalam penguasaan bahasa asing; pembentukan karakter Islami; melibatkan seluruh warga madrasah, komite dan stakeholders dalam pengambilan keputusan; membangun kesadaran ukhuwah islamiyah, mewujudkannya dalam kehidupan masyarakat; madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mendapatkan kepercayaan masyarakat, dan sebagainya. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah program-program pendidikan yang dilaksanakan selalu mengacu kepada visi dan misi yang telah dietapkan tersebut? Kemudian bagaimana standar pengukurannya untuk mengetahui tingkat pencapaiannya, sehingga dapat diketahui apakah telah terjadi prubahan terus menerus, perubahan berkelanjutan Continual Improvemnet. Sistem pendidikan yang bagaimana yang mampu membawa peserta didik dengan jeli memahami visi dan mampu memilih periorita. dalam melaksanakan program-program pendidikannya. Pengelola lembaga pendidikan tidak perlu terkecoh dengan kepentingan yang sifatnya sesaat, kepentingan normatif sebagai pemenuhan standar, perumusan visi dan misi hanya sebagai suatu ”merah gading” atau hanya sebagai ”pemeo” yang dibanggakan, tetapi sulit dilaksanakan dan dicapai. Untuk itu, diperlukan suatu rumusan visi dan misi pendidikan Islam yang jelas, mampu dilaksakan, dapat dikur, dapat dicapai, dan terjadi perubahan, dengan mempertimbangkan budaya organisasi dan keterpaduan dengan core biliefs dan core values atau nilai-nilaia keunggulan dan nilai pengabdian. Para penyelenggara pendidikan dituntut memiliki visi dan misi untuk mencapai pendidikan yang selenggarakan. Sebelum membahas misi dan visi pendidikan Islam, terlebih dahulu dijelaskan konsep misi dan visi serta keterkaitannya dengan core biliefs dan core values. Menurut beberapa pengertian misi adalah “jalan pilihan the chosen track suatu organisasi untuk menyediakan produk/jasa bagi customer-nya. Perumusan misi merupakan suatu usaha untuk menyusun peta perjalanan mewujudkan visi, sedangkan visi, pandangan jauh ke depan, ”idea” yang ingin diwujudkan turning idea into reality, atau visi merupakan “suatu pikiran yang melampaui realitas sekarang, sesuatu yang kita ciptakan yang belum pernah ada sebelumnya, suatu keadaan yang akan kita wujudkan yang belum pernah kita alami sebelumnya”. Visi pendidikan merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen pendidikan sekolah akan keadaan masa depan yang diinginkan. Misalnya, dalam merumuskan visi pendidikan adalah ”menjadi sekolah atau perguruan tinggi yang paling unggul di Indonesia”. Keberadaan visi akan memberikan inspirasi dan mendorong seluruh warga sekolah dan kampus, bekerja lebih giat untuk mencapai visi tersebut. Visi pendidikan sekolah dan perguruan tinggi harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, posetif, realistis, menantang, mengundang partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa depan”. Misi erat kaitannya dengan visi, apabila visi pernyataan tentang gambaran global masa depan, misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi kalau visi merupakan ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh yang ingin diujudkan, misi merupakan upaya untuk konkritisasi visi dalam ujud tujuan dasar yang akan diujudkan. Jadi, visi dan misi pendidikan suatu sekolah dan perguruan tinggi “merupakan penjabaran atau spesipikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan dengan latar belakang dan kondisi lokal”, serta didasarkan pada nilai-nilai values yang dianut, nilai-nilai keunggulan, dan nilai-nilai pengabdian. Misi dan visi tersebut kemudian diujudkan dalam program-program yang harus dilakukan untuk menjadikan lembaga atau sekolah dan perguruan tinggi paling unggul di Indonesia. Misalnya, untuk meningkatkan mutu tenaga pengajar, agar dalam 5 tahun ke depan semua guru sudah tersertifikasi, sistem pembelajaran sudah berbasis IT. Tenaga pengajar di perguruan tinggi minimal bergelar Magister, dan sebagian besar lebih dari 50% sudah bergelar Doktor, mempunyai jabatan guru besar. Misi pendirian perpustakaan yang modern, dalam 5 tahun ke depan sistem pelayanan diperpustakaan telah menggunakan IT dan lengkap dengan buku-buku keilmuan mutakhir. Dalam konteks out-put pendidikan, dari pandangan ini dapat dikatakan bahawa visi dan misi sekolah-sekolah Islam merupakan penjabaran atau spesipikasi dari visi dan misi pendidikan Islam itu sendiri, yaitu membentuk “insan kamil” yang berfungsi mewujudkan rahmatan lil alamin. Selain itu, visi dan misi tersebut juga perlu disesuaikan dengan latar belakang, kondisi lokal masing-masing, didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keunggulan, dan nilai pengabdian. Dengan demikian, dalam merumuskan misi dan visi pendidikan harus didasarkan pada core beliefs dan core values. Sedangkan untuk mencapai visi dan misi tersebut, harus dilaksanakan dengan penyusunan kebijakan, orientasi, sasaran dan strategi secara operasional. Hubungan antara misi, visi, core beliefs, core values, kebijakan, dan strategi dapat digambarkan, sebagai berikut Gambar 1 Hubungan antara misi, visi, core biliefs, core values, dan strategi Hubungan antara misi, visi, core biliefs, core values dan strategis dari gambar di atas, dapat dijelaskam sebagai berikut a. Pertama kali organisasi, dalam hal ini lembaga pendidikan Islam perlu menetapkan misi yang merupakan the chosen track – memilih misi untuk menyediakan produk atau jasa bagi customer-nya. Misi ditetapkan berdasarkan asumsi tentang lingkungan yang akan dimasuki oleh organisasi tersebut. Organisasi perlu mengamati trend perubahan di masa akan datang. Hasil trend watching ini kemudian digunakan untuk melakukan envisioning, yang merupakan pengembangan visi dari suatu kondisi yang akan diwujudkan di masa yang akan datang. b. Visi pada hakekatnya merupakan perubahan dan seringkali perubahan dapat diibaratkan dengan swimming upstream, maka perwujudan visi menuntut organisasi atau lembaga melakukan long and rocky journey yang membutuhkan energi luar biasa besarnya. Energi yang diperlukan untuk mewujudkan visi, perlu digali diri setiap anggota organisasi atau lembaga dengan menanamkan core biliefs tentang kebenaran visi dan perjalanan untuk mewujudkan visi. Maka untuk mewujudkan visi, hanya dapat dilakukan dengan cara Pertama, mengkomunikasikan visi tersebut secara jelas kepada seluruh anggota organisasi atau lembaga; dan Kedua, mengkomunikasikan tentang kebenaran visi organisasi dan perjalanan untuk mewujudkannya. Keberhasilan dalam mengkomunikasikan visi tersebut akan mengubah visi organisasi atau lembaga menjadi shared vision. c. Untuk mewujudkan visi melalui the chosen track misi menuntut perilaku tertentu dari para anggota organisasi atau lembaga; 1 Perilaku yang diharapkan dari anggota organisasi, diwujudkan melalui core values dan perlu dijunjung tinggi. Sebab core values merupakan nilai ideal yang perlu dijunjung tinggi setiap anggota organisasi suatu lembaga. Maka tanpa core values yang ditetapkan sebagai perilaku yang diharapkan, perjalanan untuk mewujudkan visi akan dilakukan berdasarkan prinsip yang salah dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa “tujuan menghalal cara”. Core values, dijelaskan sebagai pemberian makna terhadap pekerjaan sebagai pengabdian kepada Tuhan, karena perilaku luhur sebagaimana diajarkan dalam agama diujudkan melalui pekerjaan untuk merealisasi visi lembaga atau organisasi; 2 Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai pengabdian Ibadah yang dibagun berupa; keimanan, ke Islaman, ihksan, amanah, jujur dan tanggung jawab, qona’ah, komitmen, sabar, sidiq, ukhuwah, kerjasama, toleran, pelayanan, perlindungan. Nilai-nilai keunggulan yang dibangun, adalah cerdas, inovatif, kreatif, disiplin, kerja keras, proaktif, terbuka, efisien dan efektif, serta integratif. d. Untuk mewujudkan visi harus dilaksanakan dengan orientasi, sasaran, tujuan, dan “strategi”. Dengan strategi yang jelas diharapkan dapat menyusun langkah-langkah yang terencana, sistematis, dan efisien untuk menjawab persoalan yang dihadapi suatu lembaga atau organisasi untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan atau ditetapkan. Selanjutnya harus didukung dengan ”rencana kerja” yang jelas, sehingga akan menghasilkan suatu perubahan dalam proses kerja orgenisasi tersebut. Atas dasar itu, Suyanto, mengusulkan langkah-langkah reformasi pendidikan untuk menyongsong era informasi dan globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru dan masyarakat madani, adalah a pendidikan hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokrasi bangsa sehingga memungkinkan terjadinya proses pembedayaan seluruh komponen masyarakat secara demokratis, b pendidikan hendaknya memiliki misi agar tercapai partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga secara mayoritas seluruh kompnen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi terdidik, c misi pendidikan harus diorientasikan pada “perwujudan sistem dan iklim pendidikan yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab, berketerampilan serta menguasai IPTEK dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia. Berdasarkan pandangan di atas lembaga-lembaga atau institusi pendidikan Islam mau tidak mau dituntut untuk menyusun misi dan visi, baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro serta kebijakan dan strategi pengelolaan pendidikannya. Apabila mencoba merumuskan misi pendidikan Islam, adalah bagaimana pendidikan Islam dapat a memgembangkan potensi peserta didik secara optimal melalui pendidikan dan pengajaran bermutu berdasarkan nilai-nilai Islam, b mendorong pembaruan pemikiran Islam menuju masyarakat madani, c mengintegrasikan “ilmu agama Islam” dengan “ilmu pengetahuan umum”, d menghasilkan individu dan masyarakat yang relegius iman dan taqwa, akhlak mulia, cerdas, berketerampilan, menguasai iptek, kreatif, inovatif, memiliki integritas pribadi, merdeka, demokrasi, bersikap adil, disiplin, memiliki sikap toleran yang tinggi, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia yang memiliki orientasi global. Pendidikan Islam, sebenarnya telah memiliki visi dan misi yang ideal, yaitu “rahmatan lil’alaim”. Konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam, menyangkut dengan persoalan hidup multi diemensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam Qur’an. Hal ini berarti bahwa “pendidikan Islam sebenarnya mengemban misi melahirkan manusia yang tidak hanya memanfaatkan pesediaan alam, tetapi juga manusia yang mau bersyukur kepada yang membuat manusia dan alam, memperlakukan dan memberdayakan manusia sebagai khalifah, memperlakukan alam tidak hanya sebagai obyek penderita semata, tetapi juga sebagai komponen integral dari dari sistem kehidupan”. Mestinya pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “rahmatan lil’alamin” untuk membangun kehidupan dunia yang makmur, demokrasi, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis. Tutuntan perumusan visi baru pendidikan menjadi suatu keharusan dalam upaya perubahan manajemen pendidikan Islam, baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro. Perumusan visi pendidikan Islam pada ditingkat makro yaitu “bagaimana pendidikan dapat menunjang transformasi menuju masyarakat madani Indonesia yang ditandai oleh suatu sistem kehidupan baru sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia pada era reformasi ini” atau “bagaimana pendidikan Islam membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia, yang memiliki identitas berdasarkan nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia”. Perumusan visi pendidikan Islam pada tingkat mikro, yaitu “bagaimana pendidikan Islam menghasilkan individu relegius yang memiliki integritas pribadi merdeka, demokrasi, toleransi kemanusian yang tinggi serta berpikir local tetapi memiliki orientasi global. Bagaimana menjadikan lembaga pendidikan Islam unggul dalam pembinaan moral dan pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam, sehingga terwujudnya pendidikan Islam yang “rahmatan lil’alamin”. Kehadiran pendidikan Islam diharapkan benar-benar dapat membawa kemaslahatan bagi seluruh masyarakat yang memiliki komitmen pada kesempurnaan, keunggulan risalah Islamiyah di bidang pendidikan dan penelitian. Strategi baru dalam mencapai pendidikan yang bermutu, berupa kerja pendidikan adalah kerja akademik dan bukan kerja birokrasi atau perkantoran. Hal ini perlu dibedakan, sehingga tidak menyamakan dalam kerja pengelolaan akademik dengan kerja birokrasi perkantoran. Di dalam kerja akademik yang dipertimbangkan adalah pengembangan proses berpikir atau metodologi pencarian kebenaran dan proses pendewasaan berpikir, emosi, karakter, dan spritual, atau dengan satu kata adalah proses pendewasaan kepribadian. Dari perspektif ini Mastuhu, sengaja menggunakan istilah proses ”mengajar-belajar” dan bukan proses belajar-mengajar sebagai ganti istilah pembelajaran. Dengan kemampuan ”mengajar-belajar” dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan cara-cara belajar lebih lanjut ”learn how to learn”; sedangkan dengan istilah ”belajar-mengajar”, dikhawatirkan akan terjebak dalam kebiasaan ”menggurui” di mana guru tahu, murid tidak tahu; atau seperti dikatakan Paulo Freire adalah pendidikan ”gaya bank”, padahal dalam paradigma baru pendidikan; ilmu itu dicari, bukan ditunggu, belajar adalah menemukan, hadap masalah, menganalisis, dan memecahkan. Meskipun demikian, kata Mastuhu, tidak berarti dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi sama sekali tidak memerlukan otorita administrasi-birokrasi sebagai bagian dari otorita kekuasaan dari suatu organisasi. Maka dalam wacana penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi, otorita administrasi diperlukan untuk menunjang dan memfasilitasi kelancaran proses akademik dan proses mengajar-belajar atau pembelajaran. Perbedaan dengan otorita administrasi-birokrasi dalam kerja kantor yang merupakan kekuatan inti bagi penyelenggaan suatu kantor non-kependidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi, sering terjadi praktik ”birokrasi” sehingga membuat administrasi akademik menjadi sulit atau dipersulit dan kaku dalam pelayanan. Dari kerangka berpikir Mastuhu dan digelisahkan Paulo Freire di atas, kemudian Teunku Amiruddin, mengusulkan perlu mempertimbangkan lima visi dasar pendidikan manusia di abad 21, sebagaimana yang diajukan oleh UNESCO Unites Nation Education Scientific, and Cultural Organization. Lima visi dasar pendidikan tersebut; Pertama, learning haw to think belajar bagaimana berpikir, arti dalam proses memuat aspek-aspek pendidikan yang mengedepankan rasional, keberanian bersikap kritis, mandiri, dan hobi membaca; Kedua, learning haw to do, memuat aspek-aspek keterampilan dalam keseharian hidup termasuk kemampuan pribadi memecahkan setiap masalah; Ketiga, learning to be belajar menjadi diri sendiri, memuat aspek-aspek mendidik orang agar kemudian hari orang dapat tumbuh berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri, dan bukan sekedar memiliki having materi; Keempat, learning haw to learn belajar untuk belajar hidup, yang berarti menyadarkan bahwa pengalaman sendiri itu tak pernah mencukupi sebagai bekal hidup. Orang juga perlu mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir imajinatif – hal-hal yang barangkali tidak diperoleh dari bangku sekolah; Kelima, learning haw to live together belajar hidup bersama, artinya masyarakat pendidikan memberikan ruang bagi pembentukan kesadaran bahwa manusia hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang budaya dan etnik yang berbeda. Dari sinilah, pendidikan nilai seperti tanggungjawab atas pelestarian lingkungan, kejujuran, keadilan, toleransi, perdamaian, penghormatan hak-hak asasi manusia menjadi hal yang perlu diperhatikan. Apabila konsep Islam dan UNESCO ini dipadukan atau dipertemukan, barangkali akan menjadi alternatif baru bagi pendidikan Islam. Dalam artian pendidikan Islam dapat dikembangkan dengan mengedepankan rasionalitas, sikap kritis, mandiri, mampu memecahkan masalah, mengembangkan sikap kreatif, memiliki daya pikir imajinatif, toleransi, perdamaian, menghargai hak asasi manusia serta siap bersaing dalam dunia global yang dilandasi dengan nilai-nilai Islami menuju masyarakat madani. Tetapi yang penting adalah bagaimana mengoperasionalkan gagasan-gagasan itu sedini mungkin, setidaknya dimulai dari tingkat pendidikan dasar. Visi dan misi atau pandangan dunia yang jelas, akan mempengaruhi hakekat dan tujuan pendidikan. Maka dalam upaya mewujudkan misi dan visi pendidikan tersebut, harus didasarkan pada core beliefs, core values, serta dilaksanakan dengan ”kebijakan”, yaitu menetapkan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkan berbagai potensi yang tersedia. Core biliefs, berupa keyakinan tentang kebenaran visi dan kebenaran jalan yang dipilih untuk mewujudkan visi pendidikan Islam. Core beliefs berfungai untuk membangkitkan semangat tinggi terhadap usaha perwujudan visi. Core biliefs pendidikan Islam adalah bagaimana “upaya pengembangan pandangan hidup Islami untuk dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidupnya selaras dengan minat, bakat, kemampuan dan bidang kehidupannya masing-masing. Paradigma ini berimplikasi pada pendidikan Islam yang berorientasi pada peningkatan iman dan takwa”. Nilai-nilai ajaran Islam yang digunakan sebagai core biliefs yang “mengandung makna bahwa setiap muslim dituntut untuk menjadi aktor beragama yang loyal, concern dan commitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai dengan minat, bakat, kemampuan dan bidang keahliannya masing-masing dalam perpektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan”. Dari persfektif ini kiranya core biliefs pendidikan Islam sebagai upaya menegakkan wahyu Ilahi dan Sunnah Nabi, sebagai sumber kebenaran mutlak yang menjadi rahmat bagi alam semesta dan mendukung cita-cita luhur dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui upaya membentuk manusia Indonesia yang bertaqwa, berakhlak, berilmu pengetahuan dan teknologi, terampil, dan dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai Islam. Core values, memberikan makna terhadap suatu proses sebagai pengabdian kepada Tuhan. Untuk itu, core values merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, berupa nilai-nilai yang terkndung dalam al-Qur’an dan Hadis oleh lembaga pendidikan Islam dalam usaha atau perjalanan mewujudkan visi. Core values, akan memberikan batasan dalam pemilihan cara-cara yang ditempuh dalam usaha mewujudkan visi. Misalnya saja nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan Islam berupa nilai pengabdian, keimanan, keikhlasan, kejujuran, qona’ah, kerjasama dan toleran ukhuwah, sedangkan nilai-nilai pengembangan adalah berupa nilai inovatif, disiplin, terbuka dan proaktif, efesien, efektif, dan nilai integratif. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan dalam mewujudkan visi pendidikan, karena pendidikan Islam “sebagai upaya pengembangan pandangan hidup Islami, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dimanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan bertolak dari suatu pandangan yang theosentris, di mana proses dan produk pencarian, penemuan iptek lewat studi, penelitian dan eksperimen, serta pemanfaatannya dalam kehidupan yang merupakan realisasi dari misi kekhalifahan serta pengambdiannya kepada Allah. Dengan core values, dapat membentuk perilaku yang diharapkan, memberikan batasan dan penilaian cara-cara yang ditempuh dalam upaya mewujudkan visi yang dilaksanakan dengan kebijakan, strategi, dan atau langkah-langkah yang sistematis, sehingga mampu mengembangkan sumber daya manusia berkualitas. Dari uraian di atas, tutuntan perubahan manajemen mutu dengan perumusan visi baru pendidikan menjadi suatu keharusan dalam upaya perubahan dan inovasi manajemen pendidikan Islam. Dalam pengelolaan pendidikan Islam, diperlukan menajemen perubahan managing change, yang bertolak dari visi vision yang jelas, dijabarkan dalam misi mission, didukung dengan roles aturan, didukung dengan skill, insentif incentive, disertai dengan sumber daya resource baik fisik dan non fisik, termasuk SDM yang memadai, dan diwujudkan dalam “rencana kerja” action plan yang jelas, dengan demikian akan terjadilah perubahan change, dan perubahan itu harus terjadi dalam suatu proses yang dilakukan secara terus menerus continual improvemnet quality sistem menajemen. Perubahan manajemen tersebut dapat digambar dalam diagram, sebagai berikut Diagram di atas, menunjukkan proses secara ideal perubahan manajemen managing change yang dapat ditempuh dalam pengembangan pendidikan; dimulai dari perumusan visi yang jelas; dijabarkan dalam misi; roles yang jelas; skills yang memadai; insentif incentive; sumber daya baik fisik maupun nonfisik, SDM yang memadai; serta ”rencana kerja” action plan yang jelas, sehingga akan terjadi perubahan change dalam pengelolaan pendidikan Islam secara terus menerus continual improvemnet atau perubahan yang berkesinambungan. Tetapi jika salah satu dari aspek manajemen perubahan tersebut ditinggalkan, akan mempunyai ekses tertentu pada pelaksanaan pendidikan. Misalnya saja; 1 Jika pengembangan pendidikan Islam ”tidak bertolak dari visi” yang jelas, tapi hanya memiliki misi, roles, skills, insentif, sumber daya, rencana kerja, akan ”berakibat kehancuran” perish; 2 Jika memiliki visi, roles, skills, insentif, sumber daya, rencana kerja, ”tetapi tidak memiliki misi” yang jelas, akan ”berakibat bingung” confusion, karena tidak tahu apa yang akan diperbuat; 3 Jika mimiliki visi, misi, skills, insentif, sumber daya, dan rencana kerja, tapi tidak memiliki ”roles”, akan berakibat konflik priority conflik; 4 Jika memiliki visi, misi, roles, insentif, sumber daya, rencana kerja, tapi ”tidak memiliki skills”, akan terjadi adalah ”kecemasan” atau anxietly kuno; 5 Jika memiliki visi, misi, roles, skills, sumber daya, rencana kerja, tapi tidak ”memiliki insentif”, akan berakibat ”perubahan yang lambat” slow change; 6 Jika memiliki visi, misi, roles, skills, insentif, rencana kerja, tapi ”tidak memiliki sumber daya”, maka yang akan terjadi adalah ”prustrasi” frustration; 7 Jika memiliki visi, misi, roles, skills, insentif, sumber daya, tapi tidak memiliki ”rencana kerja” yang terarah, akan berakibat sebagai ”awal keliru” false star. Perubahan dan inovasi itu sendiri hanyalah sebagai alat dan bukan tujuan, apa yang dituju oleh perubahan tersebut adalah sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan, sehingga masing-masing institusi lembaga pendidikan Islam dituntut untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan secara serius dan ”tidak sekedar”nya. Meminjam istilah Arif Furchan, bahwa banyak pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang bekerja dengan hanya berbekal ”niat yang baik dan ikhlas” saja. Paradigma ini harus dirubah dan ditinggalkan, dalam artian institusi pendidikan Islam mulai dikelola dengan keahlian yang memadai, profesional, mampu memberikan jaminan mutu quality assurance kepada pengguna, mampu memberikan layanan yang prima, melakukan perubahan terus menerus continual improvemnet, serta mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada peserta didik, orang tua, masyarakat ataupun stakeholders lainnya. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan atau memanajen pendidikan harus disertai visi, misi, tujuan, orientasi, sasaran, tujuan dan strategi secara jelas dan terarah, sehingga tercapai perubahan yang diinginkan. a. Visi pendidikan yang jelas akan terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. b. Misi pendidikan adalah untuk menemukan, mengamalkan dan mengembangkan iptek dalam bingkai nilai-nilai dan ajaran agama, menjadikan iptek sebagai alat mencapai puncak kebenaran agama, memberantas “kebodohan bangsa”, sebab kebodohan adalah sumber segala malapetaka. c. Orientasi, dimaksudkan kemampuan menyesuaikan diri dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Dalam artian, orientasi pada pendidikan bermutu, untuk kepentingan peserta didik dalam menyongsong dan menata kehidupannya yang lebih baik. Untuk itu sudah saatnya harus meninggalkan pelaksaan pendidikan di bawah otoritas kekuasaan yang lengkap dengan praktik administrasf dan birokrasi yang imperative, pendidikan harus dilaksanakan di bawah otoritas akademik, dan demokratis. Orientasi pendidikan untuk semua, secara merata dan adil, kebutuhan, kenyataan dan “life skill” dalam tata kehidupan bersama kebutuhan “duniawiyah” tanpa melepaskan diri dari bayang-bayang kehidupan surgawi–ukhrowiyah. d. Sasaran, para penyelenggara pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi harus mampu memprogramkan sasaran-sasaran lengkap dengan target yang jelas dan terukur, yang harus dicapai sesuai dengan visi dan misi organisasi tersebut. Sasaran pendidikan dalam rangka mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarkat belajar, meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral, meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global, memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggara pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks negara kesatuan. e. Tujuan, penyelenggara perlu merumuskan tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan paling dekat, kecil, dan praktis maupun tujuan yang paling mendasar, filosofis dan makro harus dirumuskan dengan bahasa yang sederhana, jelas, mantap sehingga dapat dimengerti oleh semua pihak yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi yang bersangkutan. Tujuan pendidikan, untuk mengembangkan potensi kemampuan peserta didik dalam menguasai iptek untuk kemaslahatan kehidupan bersama dan memelihara lingkungan kehidupan, mengembang-kan budaya belajar dan sekolah boleh selesai, belajar tak mengenal berhenti. f. Strategi penyelenggaraan pendidikan sekolah-madrasah, berfokus pada mutu, untuk itu diperlukan otonomi, akreditasi, evaluasi, dan akuntabilitas, bersaing mutu, kemandirian, keterbukaan, disiplin dan profesional dalam meningkatkan pelayanan terhadap peserta didik melalui peningkatan SDM dan manajemen atau pengelolaan sekolah. Strategi, penyelenggara sekolah atau perguruan tinggi, terutama pimpinan, harus mampu menghadap masalah dan mengelola masalah. Pimpinan tidak hanya ”leader” tetapi juga ”manager”. Dalam konteks ini, pengelola pendidikan harus mampu menciptakan strategi pencapaian tujuan pendidikan yang mudah dipahami, diikuti dan dapat dikembangkan oleh sumber daya para petugas yang lain sesuai dengan posisi, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Dalam artian, bahwa semua komponen sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan, harus memahami jelas dan dapat melaksanakan visi, misi, orientasi, sasaran, tujuan, dan strategi pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi. Perumusan keenam komponen tersebut visi, misi, orientasi, sasaran, tujuan, dan strategi harus jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak atau petugas yang bersangkutan. Keenam rumusan tersebut merupakan satu kesatuan yang ”utuh” yang ”interdependensi” satu terhadap rumusan yang lain. Maka dalam konteks menghadapi tututan reformasi pendidikan menuju masyarakat madani, mengharuskan lembaga-lembaga pendidikan Islam merumuskan misi, visi, orientasi, sasaran, tujuan, dan strategi pendidikan baik ditingkat makro maupun pada tingkat mikro. Dengan demikian berbagai langkah yang perlu ditempuh sebagai upaya untuk melakukan perubahan dan perbaikan baik di bidang manajemen, perencanaan, samapai pada praksis operaasional pendidikan di tingkat mikro. Dari kesemua uraian di atas, disimpulkan bahwa pada aspek manajemen pendidikan Islam dapat merumuskan visi dan misi yang jelas berorientasi kepada pencapaian tujuan pendidikan dan untuk menjawab tuntutan pengguna customer dan stakeholder. Program pendidikan Islam; 1 dikelola dengan menggunakan management profesional, dapat dipertanggungjawabkan responsibility, dengan memiliki sumber daya manajemen resources management yang berkualitas; 2 mengembangkan program pendidikan berkualitas quality plan, kebijakan dan perubahan pendidikan yang berorientasi pada kualitas quality policy; 3 mengembangkan program pendidikan yang berorientasi pada kualitas capaian quality objective, berorientasi pada aktivitas untuk pancapaian lulusan activity to output yang berkualitas, memiliki sistem penilaian measurement yang dapat dipertanggungjawabkan; dan 4 secara terbuka dapat menerima umpan balik dari pengguna impact customer, kemudian melakukan analysis secara terus menerus kontinu terhadap program-program pendidikan yang dilakukan, sehingga terjadi perubahan yang terus menerus dan berkelanjutan improvement continual sehingga terjadi improvemnet quality management sistem pendidikan Islam. 3. Strategi Pembaruan Pendidikan Islam Pembangunan pendidikan dan pendidikan Islam di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar, yakni; 1 pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan; 2 relevansi pendidikan; 3 peningkatan kualitas pendidikan; dan 4 efisiensi pendidikan. Maka secara umum keempat strategi tersebut dapat dibagi menjadi dua aspek yakni; 1 aspek peningkatan mutu; dan 2 pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Sedangkan aspek pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah. Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya, perlu menyusun strategi dan kebijakan pendidikan Islam, yaitu a Menyelenggarakan pendidikan Islam yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat madani Indonesia dalam menghadapi tantangan global; b menyelenggarakan pendidikan Islam yang dapat dipertanggungjawabkan accountasle kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan; c menyelenggarakan proses pendidikan Islam yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan; d meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; e memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia; f secara bertahap mengurangi peran pemerintah dalam hal ini Departemen Agama menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan Islam; g merampingkan birokrasi pendidikan Islam sehingga lebih lentur fleksibel untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global. Apabila pembahasan ini berangkat dari rumusan misi dan visi pendidikan yang dikemukakan di atas, maka kebijakan pendidikan nasional termasuk pendidikan Islam harus diorientasikan pada upaya, untuk a perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas; b peningkatan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mampu berfungsi secara optimal terutama dalam meningkatkan pendidikan watak dan budi pekerti; c perlu melakukan pembaruan kurikulum, berupa deversifikasi keurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, d memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat; e melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen; f memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; g mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa, sehingga generasi muda dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Bila prinsip tersebut diterapkan di sekolah, maka strategi pengelolaan pendidikan di sekolah, berorientasi pada a “school policy kebijakan sekolah yang memuat visi, misi, tujuan dan target-target perioritas pengembangan sekolah untuk mencapai visi, misi, dan tujuan yang dikehendaki bersama; b school annual planning rencana tahunan sekolah yang memuat rincian program kerja tahunan sekolah dalam berbagai aspek kegiatan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki; c school planning review, yaitu rencana jangka pendek sekolah yang memuat berbagai macam dan target pengembangan sekolah untuk jangka waktu tiga sampai lima tahun. Strategi pendidikan merupakan target pencapaian, baik bersifat jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dalam merealisasikan terlaksanaya penyelenggaraan pendidikan menuju masyarakat madani Indonesia. Maka dalam menetapkan sasaran pencapaian strategi pendidikan harus memiliki nilai khusus specific, dapat terukur dan terhitung measurable, dapat tercapai achievable, realis dan wajar realistic, dan berjangka waktu time frame. Berdasarkan time frame berjangka waktu tersebut, perlu disusun langkah-langkah atau strategi untuk mencapai visi pendidikan adalah, sebagai berikut Pertama, strategi jangka panjang, diperlukan upaya untuk membangun lembaga pendidikan Islam yang memadai secara ”akademik” dan ”finansial” melalui kebijakan restrukrisasi dan rekapitulasi yang berkesinambungan. Dengan demikian, rumusan strategi jangka panjang pendidikan adalah 1 Menciptakan sistem perencanaan yang berbasis kepentingan lokal untuk mengakomodasikan aspirasi dan kemajuan masyarakat, berorientasi nasional untuk menjamin persamaan, dan berwawasan global agar mampu mempertimbangkan kecenderungan global dan regional; 2 Menerapkan sistem manajemen mutu secara menyeluruh berupa penataan kembali manajemen organisasi di semua tingkat kelembagaan dan proses pembelajaran; 3 Melakukan review kurikulum secara periodik serta meningkatkan pengembangan implementasi kurikulum secara kontinu dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif yang bertumpu pada pendidikan global global education; 4 Melakukan perekayasaan proses, yaitu berupa penerapan pendekatan dan metode serta isi pendidikan yang memberi kesempatan luas kepada peserta didik dan warga negara untuk mengembangkan potensi kemampuannya secara utuh; 5 Menjaga konsistensi dan kontiniutas internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam di antara tiga pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga terhindar dari benturan-benturan pada peserta didik dengan norma-norma sosial yang ada dimasyarakat. Kedua, strategi jangka menengah, upaya untuk memantapkan infra struktur melalui kebijakan rekapitulasi terhadap komponen penunjang dalam sistem pendidikan. Strategi pendidikan Islam jangka menengah menyangkut dengan demokratisasi pendidikan, relevansi pendidikan, akuntabilitas pendidikan, profesionalisme, meningkatkan efisiensi pendidikan, mengakomodasi kemajemukan, dan desentralisai. Mak untuk lebih jelasnya, strategi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut 1 Demokratisasi pendidikan Islam, mengoptimalkan pendayagunaan institusi pendidikan Islam yang berwujud pusat kegiatan belajar, kelompok kerja sekolah, pesantren untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, pendidikan dasar yang berbasis di mesjid dan pusat latihan kerja. 2 Relevansi pendidikan Islam, dalam rangka meningkatkan relevansi pendidikan ada beberapa upaya yang dapat dilakukan; Pertama, menjamin pendidikan melalui program pendidikan yang bermutu dan lebih fungsional baik bagi individu maupun masyarakat. Dalam konteks ini, dianggap perlu untuk melibatkan para tokoh masyarakat ataupun stakeholders di samping para ahli untuk merancang isi kurikulum dan jenis kegiatan-kegiatan pembelajaran pendidikan Islam; Kedua, untuk menghadapai tantangan globalisasi yang menuntut kualifikasi tertentu setiap lulusan dari jenis dan jenjang pendidikan Islam tidak hanya dituntut menguasai kemampuan akademik saja, melainkan perlu juga diorientasikan pada kompotensi tambahan berupa, keterampilan kerja skill, manajemen diri, keterampilan komunikasi, kemampuan komputer dan internet, kemampuan memobilisasi dan inovasi; Ketiga, kompetensi tambahan ini dapat dimasukan dalam kurikulum pendidikan Islam pada seluruh jenjang dan jenis pendidikan secara komprehensif dalam program kurikulum, ekstra kurikulum, maupun hidden curriculum. 3 Akuntabilitas proses pendidikan Islam, proses pendidikan diharapkan benar-benar mampu menjamin pendidikan yang dapat menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Mutu tidak hanya menyangkut masalah isi saja, melainkan juga kesesuaian metodologi pembelajaran. Akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan dengan Pertama, pendidikan lebih ditekankan pada kegiatan belajar dari pada mengajar, pada setiap tingkat satuan pendidikan; Kedua, menerapkan pengembangan kurikulum secara komprehensif yang dirancang untuk memelihara integritas pengembangan kemampuan akademik, keterampilan teknis dalam proses pendidikan; Ketiga, mengembangkan sistem penilaian menyeluruh terhadap peserta didik untuk menentukan keberhasilan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat; dan Keempat, mengembangkan manajemen pendidikan yang berbasis pada masyarakat dan sekolah, sehingga program dan proses pendidikan yang berlangsung dapat diterima dan didukung oleh sekolah serta masyarakat. 4 Profesionalisme pendidikan, merupakan salah satu aspek penting untuk menentukan kualitas pendidikan Islam. Tuntutan personil atau sumberdaya pendidikan yang profesional merupakan tumpuan bagi keberhasilan suatu proses yang berkualitas. Pihak-pihak yang bertanggungjawab atas kelangsungan dan keberhasilan proses pendidikan Islam, seperti para pengajar sebagai penanggungjawab utama perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena keberhasilan proses pendidikan lebih banyak bertumpu pada manajemen pengajar. Berbagai aspek yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan di antaranya 1 rekruitmen tenaga pengajar diorientasikan pada kebutuhan serta kualitas; 2 pelatihan tenaga pengajar sangat diperlukan untuk peningkatan kualitas pembelajaran dan pelatihan lebih diorientasikan pada hal-hal yang praktis sehingga mudah diterapkan di lapangan; 3 pemilihan, penunjukkan dan penempatan dapat dilihat sebagai satu rangkaian dari perjalanan pengembangan profesi pendidikan. Pemilihan dan penunjukan lebih mementingkan profesionalisme seseorang dan prosedur penempatan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan serta pertimbangan efisiensi; 4 perkembangan karier dan sistem promosi menjadi lebih penting apabila perhitungan angka kredit dilakukan secara objektif dan selalu berorientasi pada kemampuan profesional dan tidak hanya sekedar banyak kreditnya; 5 perlu diperhatikan sistem insentif atau reward bagi para pengajar. Apabila seorang guru atau dosen yang berprestasi perlu diberikan penghargaan yang memadai sehingga dapat mendorongnya untuk terus maju. Selain itu, personil lain yang ikut menentukan mutu pendidikan dan memiliki posisi sangat strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan, seperti kepala sekolah, konselor sekolah, rektor, dekan, ketua jurusan, dan para pengelola administrasi pendidikan. 5 Mengakomodasi kemajemukan, perlu menyadari akan kondisi obyektif kemajemukan bangsa dan masyarakat Indonesia. Penegakan uniformitas perlu dihindari secara berangsur-angsur dan menuju kepada keperdulian secara sungguh-sungguh melalui upaya mengakomodasi kemajemukan kultural, etnis dan kebutuhan individu dan masyarakat. Maka perlu memberdayakan segala potensi daerah, meningkatkan otoritas dan kreativitas daerah, dan mengurangi kurikulum pendidikan Islam muatan nasional sampai batas toleransi tertentu. 6 Desentralisasi, sejalan dengan semangat reformasi, maka secara berangsur-angsur pergeseran peran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan dari pemerintah ke non pemerintah dalam berbagai jenis persoalan pendidikan. Manajemen pendidikan Islam, mulai dari penentuan kebijaksanaan, pembinaan lembaga, pengambilan keputusan, koordinasi, pengendalian kualitas sampai kepada pengawasan yang selama ini sepenuhnya dikendalikan oleh pusat Departemen Agama RI pada akhirnya akan bergeser ke daerah dan lembaga-lembaga pendidikan. Selama ini daerah dan lembaga-lembaga pendidikan menjadi obyek penyelenggaraan sistem pendidikan, maka kini dan masa depan akan menjadi obyek yang sangat menentukan gerak dan langkah pendidikan di daerahnya dan dilembaganya masing-masing. Perlu dikembangkan dan dilaksanakan manajemen yang berbasis pada sekolah dan masyarakat Community Seholl Based Management, sehingga rasa memiliki dan bertanggung jawab sekolah dan masyarakat akan mulai terbangun. Pendidikan Islam perlu mengantisipasi penggeseran paradigma ini, karena selama ini masyarakat tidak merasa memiliki dan mempunyai keperdulian yang berarti terhadap pengelolaan pendidikan Islam. Pada era sekarang ini, masyarakat mulai diharapkan untuk meningkatkan partisipasinya, yang tidak hanya sebagai penyandang dana saja, tetapi juga terlibat dalam pengambilan keputusan dan inisiatif yang konstruktif bagi pengembangan dan kelangsungan proses pendidikan. Ketiga, strategi jangka pendek, perlu membangun perangkat infra struktur sistem pendidikan yang memihak kepada pemberdayaan masyarakat melalui kebijakan restrukturisasi dalam sistem pendidikan Islam. Setidaknya yang diperlukan pendidikan Islam adalah menyusun “strategi untuk meningkatkan relevansi pendidikan, meningkatkan akuntabilitas proses pendidikan, meningkatkan profesionalisme pendidikan, dan mengurangi uniformitas”. Maka untuk lebih jelanya, strategi tersebut setidaknya dapat 1 Meningkatkan relevansi pendidikan, artinya perlu diwujudkan kesesuaian antara pengetahuan dan keterampilan teknik di dunia kerja link and match. Relevansi pendidikan Islam, harus diwujudkan dalam bentuk kemampuan adaptasi secara cepat dalam menghadapi tuntutan perubahan. Maka strategi yang diperlukan adalah pengetahuan dan keterampilan teknis yang diberikan di dunia pendidikan, perlu dilengkapi dengan keterampilan pengelolaan diri, keterampilan komunikasi, keterampilan interaksi dengan orang lain dan kemampuan memobilisasi, inovasi dan perubahan. Keterampilan-keterampilan tersebut perlu dibina sejak dini sesuai tingkat kemampuan peserta didik. Dengan demikian perlu pengkajian kembali kurikulum pendidikan Islam dengan pendekatan komprehensif, yang dapat menampung pendidikan kemampuan keterampilan dan pendekatan integratif yang dapat mengintegrasikan kajian-kajian agama dengan kajian-kajian ilmu-ilmu lainnya. 2 Akuntabilitas proses pendidikan Islam, yaitu kualitas hasil pendidikan Islam harus dapat dipertanggungjawabkan kepada peserta didik, orang tua, masyarakat pemakai produk pendidikan dan pemerintah. Proses pendidikan Islam pada semua jalur, jenis dan jenjang harus dapat dipertanggungjawabkan untuk menjamin kualitas lulusan yang harapkan. Strategi untuk meningkatkan akuntabilitas proses pendidikan Islam, dengan meningkatkan pengembangan satuan acara pengajaran yang menterjemahkan kurikulum ke dalam rencana harian yang lebih operasional baik dalam konteks intra kurikulum, ekstra kurikulum, dan kurikulum tersembunyi hidden curriculum, peningkatan kualitas guru pendidikan agama Islam melalui inservis training atau pelatihan-pelatihan. Agar proses pendidikan Islam dapat memenuhi tuntutan semua pihak, maka pihak-pihak yang berkepentingan dapat bersama-sama ikut mengambil keputusan kebijakan operasional dengan tetap berpegang pada kemandirian, profesionalisme, dan berwawasan global. 3 Strategi meningkatkan profesionalisme pendidikan Islam, diwujudkan dengan menerapkan standar kualifikasi tenaga kependidikan yang diperlukan dalam setiap program rekruitmen tenaga kependidikan, mengembangkan re-training untuk memberikan kemampuan peningkatan keahlian dan penambahan keahlian baru yang sejenis, meningkatkan kemampuan profesional pengelolaan pendidikan baik pada tingkat satuan pendidikan maupun manajemen dan mengembangkan orientasi pengembangan profesi dengan misi utama untuk memberikan layanan kepada peserta didik secara optimal. 4 Strategi meningkatkan efisiensi, yaitu meningkatkan kemampuan para pengelola pendidikan untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen efisiensi manajerial pendidikan. Kata akhir Selain itu, dalam menyusun strategi pendidikan Islam perlu didasarkan pada beberapa prinsip, diantaranya, adalah 1 prinsip relevan dengan kebutuhan masyarakat madani yang bermutu tinggi, profesionalisme, efisienasi dan efeiktivitas, sehingga pendidikan Islam dapat dipertanggungjawabkan kepada peserta didik, orang tua, pemakai lulusan dan pemerintah; 2 proses pendidikan Islam harus berifat demokratis dan profesional untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, mengurangi peran pemerintah dalam pengelolaan pendidikan serta bersifat fleksibel terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global; 3 strategi pendidikan Islam berupa langkah-langkah yang disusun secara terencana dan sistimatis, diharapkan dapat menyentuh semua aspek kehidupan, mengantisipasi perubahan, mampu merekayasa terbentuknya sumberdaya manusia cerdas serta dapat meningkatkan kualitas manusia dengan memiliki kemampuan inovasi serta responsif terhadap perubahan. Dari kerangka pemikiran tersebut, pendidikan Islam betul-betul diharapkan dapat berpengaruh terhadap perubahan kehidupan masyarakat serta dapat memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi ilmu pengetahuan yang dapat diimplementasikan atau dioperasionalkan dalam kehidupan masyarakat dan mewujudkan visi pendidikan Islam yang telah ditetapkan. DAFTAR PUSTAKA Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional RI, From accessed, Senin, 7/9/2009, jam. Wib. Muhaimin,2006, Nuansa Baru Pendidikan Islam,Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta RajaGrafindo. Visi, diartikan sebagai kemampuan untuk melihat pada inti persoalan; pandangan atau wawasan ke depan; kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan; apa yang tampak dalam khayalan; penglihatan; pengamatan. Misi, diatikan sebagai perutusan yang dikirimkan oleh suatu negara ke negara lain untuk melakukan tugas khusus dl bidang diplomatik, politik, perdagangan, kesenian; tugas yang dirasakan orang sebagi suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme, dsb. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional RI, From accessed, Senin, 7/9/2009, jam. Wib. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, hlm. 73., dan juga periksa lebih lanjut Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 Yogyakarta Safiria Insania Press dan MSI, 2003, hlm. 80. Diagram tersebut merupakan modefikasi dari diagram yang dibuat Muhaimin dan Mastuhu, sehingga dapat dilihat gambaran langkah-langkah seterusnya dari konsep yang dikemukakan Muhaimin dalam buku ”Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan” dan Mastuhu dalam buku ”Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21”. Periksa lebih lanjut Muhaimin Nuansa Baru Pendidikan Islam, hlm. 74., dan juga periksa lebih lanjut Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, hlm. 80. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, hlm. 74., dan juga periksa lebih lanjut Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, hlm. 80. Page 2
C Macam, tujuan, tugas, fungsi dan prosedur metode pendidikan. Filsafat pendidikan islam dalam memecahkan problema pendidikan islam dapat menggunakan metode-metode antara lain: Metode spekulatif dan kontemplatif, yakni mengumpulakan bahan-bahan fakta yang ada. Pendekatan normatif, Menggunakan norma sebagai bahan acuan.
Pertanyaan Banyak orang yang hafal Al-Quran karena ada yang mengajarkan Al-Quran atau belajar fiqih karena ada syekh dan ulama. Akan tetapi, problem yang kami saksikan dan rasakan saat bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat adalah adanya didikan yang buruk atau dengan kata lain pendidikan yang sangat memprihatinkan. Kemana para pendidik dan bagaimana mengatasi hal ini? Bagaimana memasukkan nilai-nilai tarbiyah dalam kurikulum pendidikan yang syar’i? Apa gunanya ilmu tanpa tarbiyah? Yang kami tidak pahami adalah bagaimana manhaj tarbiyah hilang di kalangan para pengajar? Mengapa mereka memilih profesi mengajar? Adapun peran keluarga tak jauh berbeda, kegagalan tarbiyah. Bagaimana kita menjadi pendidik? Apakah tarbiyah merupakan ilmu tersendiri ataukah dia pemahaman dari para pakar? Bagaimana dahulu para salaf, ulama dan penguasa serta para tokoh mendidik anak-anaknya? Teks Jawaban diragukan lagi bagi siapa yang mengamati bahwa telah terjadi pemisahan antara ilmu dan amal, pengetahuan dan tarbiyah, baik dalam pandangan awam atau para ahli. Banyak yang mengira bahwa tarbiyah hanyalah masalah teori terkait dengan kemampuan para orang tua yang dapat mengisi otak anak-anaknya dengan berbagai ilmu pengetahuan disertai kesungguhan untuk menghasilkan sebesar-besarnya karangan-karangan dan tesis-tesis yang berbicara tentang sarana tarbiyah dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Bahkan hingga sampai pada tingkat mencocokkan nash-nash syar’i dengan teori-teori akal tanpa meninjau sisi praktis dalam tarbiyah. Misalnya, sikap mencocokkan ayat berikut إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ سورة غافر 28 “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya hanyalah para ulama.” QS. Ghafir 28 Dipahami bahwa siapa saja yang berilmu, baik ilmu-ilmu syari atau ilmu-ilmu sains dianggap sebagai orang yang takut kepada Allah. Padahal ayat tersebut tidak menunjukkan semua orang yang berilmu adalah takut kepada Allah, akan tetapi orang yang takut kepada Allah adalah orang yang berilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam kita Majmu Fatawa, 7/539. Allah Taala berfirman, إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya hanyalah para ulama.” QS. Ghafir 28 Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang takut kepada Allah maka dia adalah orang berilmu, tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang berilmu maka dia takut kepada Allah.” Beliau juga berkata di tempat lain, “Maknanya adalah bahwa tidak ada yang takut kepada Allah melainkan dia ulama. Allah mengabarkan bahwa siapa yang takut kepada Allah, maka dia ulama. Sebagaimana dia berfirman dalam ayat lain, أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ سورة الزمر 9 “Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" QS. Az-Zumar 9 Ini merupakan ayat lainnya yang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah termasuk di antara ayat-ayat yang dipahami tidak benar termasuk dalam perkara memuji para ulama walaupun terhindar dari amal dan tarbiyah. Hal tersebut karena mereka hanya menyebut akhir ayatnya dan mengabaikan awalnya. Karena firman Allah Taala, قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Adalah penafsiran dari ayat sebelumnya, أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ “Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” Orang yang mengetahui di sini adalah mereka yang sering beribadah karena Allah dalam keadaan tunduk di waktu malam karena takut dari nerakanya dan berharap surga dan rahmatNya. Adapun yang tidak berilmu adalah mereka yang lalai dari semua itu. Perhatikanlah! Karena itu, Imam Ibnu Qayim menyatakan dalam kitab Miftah Dar As-Saadah’ 1/89 satu kaidah umum dalam masalah ini, “Dahulu kalangan salaf tidak menyebutkan nama fiqih’ kecuali terhadap ilmu yang diiringin amal.’ Inilah hakikat fiqih menurut para ulama salaf kita, ilmu yang diiringin amal. Ketika hakikat ini hilang dalam pemahaman banyak dai dan tenaga pendidik, maka tarbiyah atau pendidikan yang ada hanya fokus pada masalah ilmu pengetahuan semata dengan mengabaikan prilaku, manajemen hati, pengendalian jiwa dan perbaikan akhlak. Mereka mengira bahwa inilah ilmu dan fikih yang dimaksud. Padahal tidak demikian!. Pendidikan untuk menanamkan akhlak dan agama tidak dapat terlaksana kecuali oleh orang-orang robbany, apakah mereka ulama, dai, aktifis atau guru. Orang robbany adalah orang yang dekat kepada Allah Taala, dengan ilmu, amal maupun dengan mengajarkannya. Allah Taala berfirman, وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ سورة آل عمران 79 "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi dia berkata "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” QS. Ali Imran 79 Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Fathul Qadir, 1/407, “Robbany adalah nisbat sandaran terhadap kata rabb tuhan dengan menambah alif dan nun untuk menunjukkan sangat. Seperti dikatakan kepada orang yang berjenggot lebat lihyani’ atau kepada orang yang lehernya besar ruqbany’. Ada yang berpendapat bahwa robbany adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum yang berat, seakan dia ingin mencontoh Tuhan Taala dalam membantu segala perkara. Kesimpulannya, tarbiyah bukan sebatas teori-teori kosong yang jauh dari pengamalan, bukan pula kaidah-kaidah yang jauh dari nilai-nilai keimanan. Akan tetapi tarbiyah ruang lingkupnya adalah; Terwujudnya kekuatan jiwa yang menggabungkan antara ilmu dan kesantunan, antara hikmah dan pemahaman, antara ilmu dan amal serta mengajarkan apa yang telah dipahami. Karena itu, Imam Asy-Syaukani berkata tentang firman Allah Taala, وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ “Disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” Yang membaca dengan tasydid, maka dia harus memahami robbani dengan suatu perangkat tambahan selain ilmu dan mengajarkannya, yaitu bersama dengan itu dia ikhlas dan bijaksana, atau santun, sehingga tampak sebabnya. Yang membaca takhfif tanpa sebab, boleh memahaminya robbany sebagai orang yang berilmu dan mengajarkan manusia. Maka maknanya adalah jadilah orang yang mengajarkan ilmu karena kalian adalah ulama dan sebab kalian telah mempelajari ilmu. Ayat ini merupakan dorongan paling kuat bagi orang yang berilmu untuk beramal dan di antara amalan terbesar atas ilmu adalah mengajarkannya serta ikhlas karena Allah Taala.” Fathul Qadir, Fathul Qadir, 1/407 Dengan demikian menjadi jelas bahwa inti dari tarbiyah rabbany dan pondosinya adalah tarbiyah dengan praktek, bukan sekedar teori simbolis yang sunyi dari hakikat amal. Karena itu, Al-Hafiz Ibnu Rajab berkata dalam risalahnya yang bermutu, “Fadlu ilmi Assalaf Ala Ilmi Al-Kholaf.” Hal. 5, “Banyak orang dari kalangan belakangan terkena fitnah dengan mengira bahwa banyaknya pendapat dan perdebatan mereka dalam masalah agama menunjukkan bahwa mereka lebih mengetahui dibanding yang tidak seperti mereka. Ini merupakan kebodohan yang nyata. Perhatikanlah para sahabat-sahabat besar dan ulama mereka, seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Muaz, Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, bagaimanakah mereka? Ucapan mereka lebih sedikit dari ucapan Ibnu Abbas padahal mereka lebih berilmu darinya, demikian pula ucapan para tabiin, ucapan mereka lebih banyak dari ucapan para sahabat padahal para sahabat lebih utama dari mereka, lalu tabiit tabiin lebih banyak perkataannya dari tabiin padahal para tabiin lebih utama dari tabiit tabiin. Ilmu itu bukan pada banyaknya riwayat, tidak juga pada pada banyaknya pendapat, akan tetapi dia adalah cahaya yang terpancar dalam hati yang dengan itu seorang hamba memahami kebenaran dan membedakan antara yang hak dan yang batlil lalu dapat mengungkapkan hal tersebut dengan redaksi yang ringkas namun sampai kepada tujuan.” Inilah bencana besar yang dialami rumah-rumah kaum muslimin dan lembaga-lembaga pendidikan mereka, yaitu hilangnya teladan saleh yang rabbany yang mendidik dengan perbuatan sebelum ucapan dan menghimpun dalam pengajarannya antara pandangan yang benar dengan amal saleh diiringi sikap bijak dan pemahaman yang lurus terhadap agama Allah Taala serta keinginannya terhadap hamba. Ibnu Jauzi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa pendidikan seperti benih sedangkan pendidik seperti tanah. Jika buminya buruk, maka sia-sialah benihnya. Jika tanahnya subur, maka benih akan tumbuh berkembang.” Al-Adab Asy-Syar’iyah Ibnu Muflih, 3/580 Beginilah kesalehan orang-orang yang saleh di antara anak-anak para ulama dan orang-orang saleh dan inilah yang jalan kebaikan yang dilakukan oleh para fuqoha dan pendidik. Setelah itu, sebab terputus, hasilnya diserahkan kepada pemilik segala urusan, pencipta perbuatan hamba, penunjuk ke jalan yang lurus. Yang paling mungkin dilakukan oleh para pendidik dan orang tua adalah pendidikan dan pembinaan, adalah kesalehan dan berubahnya hati, tidak ada seorang pun yang mampu mewujudkannya kecuali Allah. Karena itu dikatakan, Adab dari orang tua, kesalehan dari Allah.” Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, 3/552 Terakhir, cara untuk mewujudkan hal itu ada dalam point singkat berikut; 1- Para dai dan pendidik menyadari sendiri tentang hakikat tarbiyah dan perkara terkait dengannya. 2- Para pendidik memberikan pemahaman kepada seluruh kaum muslimin tentang sarana-sarana tarbiyah Islam. 3- Kerjasama antara para pendidik dengan lembaga-lembaga, tokoh dan pakar di tengah masyarakat untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diawasi dan diselenggarakan oleh para pendidik robbany. Wallahua’lam .
ViewPERTANYAAN DAN JAWABAN BEBAS 123 at Muhammadiyah University of Purwokerto. Memperbaharui dan menghidupkan kembali berbagai prinsip-pri nsip dalam Islam yang telah dilalaikan oleh umat Islam. Oleh karena itu tujuan pembaharuan dalam agama Islam tidak hanya mengajak untuk maju "Langgar itu untuk ibadah
A. Perspektif Alquran dan Hadist tentang Tujuan Pendidikan Konsep tujuan pendidikan menurut Umar Muhammad At-Taumi Ash-Shaibani adalah perubahan yang diinginkan melelui proses pendidikan, baik dalam tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, kehidupan masyarakat, dan alam sekitar maupun pada proses pendidikan serta pengajaran itu sendiri. Berdasarkan konsep ini, pendidikan dipandang tidak berhasil atau tidak mencapai tujuan apabilatidak ada perubahan pada diri peserta didik setelah menyelesaikan suatu progam pendidikan. Agar dapat terukur, sebelum melakukan proses pendidikan perlu dibuat rumusan-rumusan tujuan yang jelas. Rumusan tersebut dapat digali dari sumber pendidikan Islam yaitu Alquran dan hadist. Berikut ini akan dikemukakan ayat-ayat Alquran dan hadist yang berkenaan dengan tujuan pendidikan. Diantanya bertakwa kepada Allah, beriman, dan berakhlak Bertakwa kepada Allah Berdasarkan rumusan para ahli tujuan pendidikan salah satunya yaitu membentuk peserta didik menjadi insane yang saleh dan bertakwa kepada Allah. Allah berfirman dalam Surat Al-Hujurat 13 يَاَيُّهَااالنَّاسُ اِنَّا خَاَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَا ئِلَ لِتَعَا رَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمً خَبِيْرَ Artinya Wahai manusia sungguh kami telah menciptakan kau dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kau di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah maha mengetahui, maha teliti. Ketakwaan dasalehan itu ditandai dengan kemapanan akidah dan keadilan yang mewarnai segala aspek kehidupan seseorang yang meliputi pikiran, perkataan, perbuatan, pergaulan dan lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan pendidikan terdapat empat hal yang mesti di perkenalkan kepada peserta didik melalui materi yang di ajarkan yaitu Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia secara individu. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia sebagai makhluk sosial. Memperkenalkan kepada mereka bahwa alam ini ciptaan Tuhan dan mengajak peserta didik memahami hikmah Tuhan menciptakannya. Memperkenalkan kepada mereka pencipta alam dan mendorong mereka beribadah. Keempat hal di atas di sebut oleh al- jamali sebagai inti dari tujuan pendidikan islam yaitu mengenal Allah dan bertakwa kepada-Nya. Sehubunagn dengan takwa sebagai tujuan pendidikan, berikut ini hadist yang sesuai عن أبي هريرة رضي الله عنه سءل رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ اًكْرَمَ الناسِ قال أَّتقاهم لله Artinya Abu hurairah meriwayatkan bahwa rasulullah ditanya, “Ya, Rasulullah, siapa manusia yang paling mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling bertakwa.” HR. Muslim Hadist ini menunjukkan bahwa manusia yang paling mulia adalah yang paling tinggi tingkat ketakwaannya. Sikap takwa mengalahkan semua indikasi kemulian martabat yang lain. Simbol-simbol kemodernan dan kesejahteraan yang dimiliki oleh seseorang tidak dapat mengalahkan sikap takwa. Hal itu berarti bahwa kendatipun sesesorang memiliki keterampilan menggunakan teknologi mutakhir dan memiliki kekayaan yang melimpa, tetapi ia tidak bertakwa kepada Allah, maka sesungguhnya ia belum dapat dimasukkan kedalam kategori orang yang paling mulia. 2. Beriman dan berilmu Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam sangat erat kaitannya dengan iman, iman dibangun atas dasar ilmu pengetahuan maka bertambahnya ilmu identik dengan bertambahnya iman. Dalam Surat Ali- Imran Ayat 190-191 ditegaskan اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَتِ وَاْلَارْضِ وَاخْتِلَافِ اْلَيْلِ وَالنَّهَارِ لَاَيَتِ لِاُوْلِى اْلْاَلْبَابِ اَلَّذِيْنَ يَذْ كُرُوْنَ الَلَه قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَعَلَ خُنُوْ بِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمَوَتِ وَالْاَرْضِ رَبَّنَا مَاخَلَقْتَ هَذابَاطِلَا سُبْحَنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ Artinya Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. Dalam ayat diatas memperbincangkan tentang orang berakal ulul Albab orang yang dapat mengombinasikan antara dzikir dengan piker atau sebaliknya. Ketika dia berfikir, meneliti atau mengkaji alm sekitar munculah dzikirnya dan ketika dia berdzikir munculah pikirnya. Sehingga setiap kali dia sampai kepada suatu kesimpulan maka kajiannya, jiwanya yang paling dalam berucap “ Hal ini Allah ciptakan dengan tidak sia-sia, semuanya berguna dan bermanfaat bagi manusia”. Menyimak hal tersebut maka dalam tujuan pendidikan salah satunya harus mewujudkan peserta didik yang beriman kepada Allah, karena dengan takwa dan beriman kepada Allah maka akan mewujudkan peserta didik yang berakhlak muliadan berprilaku terpuji. Berkaitan dengan iman, terdapat hadist berikut عن سفيان بن عبد الله الثقفي قال قلتُ يا رسول الله قل لي في الإسلام قولا لا اسألُ عنه احدا بعدك قال قل امنتُ بالله فستقمْ Artinya Sufyan bin Abdullah Ats- Tsaqafi meriwayatkan bahwa ia berkata kepada rasulullah, “Ya, Rasulullah, katakanlah kepada saya sesuatu tentang Islam yang tidak akan saya tanyakan lagi sesudah engkau.” Nabi berkata,” Katakanlah, “Saya beriman kepada Allah.” Lalu tetaplah pendirianmu. HR. Muslim dan Ahmad. Hadist diatas menjelaskan bahwa iman kepada Allah dan Istiqomah dengan pengakuan keimanan itu merupakan suatu hal yang sudah cukup dan memadai bagi seorang Muslim. Oleh karena itu, para pendidik harus berusaha agar peserta didik memiliki iman yang kuat dan teguh pendirian dalam melaksanakan runtutan iman tersebut. Jika seorang yang beriman diyakini sebagai orang yangdimuliakan dan diistimewakan oleh Allah didunia dan akhirat, maka seyogianya segala proses pendidikan Islam diarahkan untuk mencapai derajat itu. 3. Berakhlak Karimah Misi utama Rasulullah SAW adalah menyempurnakan kemuliaan Akhlak, maka proses pendidikan diarahkan menuju terbentuknya pribadi dan umat yang berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan penegasan Allah dalam firmannya Surat Al- Ahzab 21 لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةْ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْااللَه وَالْيَوْمَ اْلَاخِرَوَذَ كَرَاللهَ كَثِيْرَا Sungguh, telah adad pada diri rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu orang yang mengharap rahmat Allah dan Kedatangan Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. Dalam hal ini dapat dilihat dari sebuah hadist berikut عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما بعثتُ للأتمّم مكارم الأخلاق Artinya Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasullah SAW bersabda “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” HR. Al-Baihaqi. عن جابر بن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم إنَّ الله بعثني بتمام مكارم الأخلاق وكمال محاسن الأفعال Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutusku dengan tugas membina kesempurnaan akhlak dan kebaikan pekerjaan. HR. Ath-Thabrani Kedua hadist diatas menujukkan dengan tegas bahwa misi utama Rasulullah adalah memperbaiki akhlak manusia. Beliau melaksanakan misi tersebut dengan menghiasi dirinya dengan berbagai akhlak yang mulia dan menganjurkan agar umatnya senantiaa menerapkan akhlak tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan secara tegas, beliau mengatakan bahwa kualitas iman seorang dapat diukur dengan akhlak yang ditampilkannya. Itu berarti bahwa semakin bagus kualitas iman seseorang Akan semakin baik pula akhlaknya. Dengan kata lain, akhlak seseorang yang buruk merupakan pertanda bahwa imannya juga buruk. Para ahli pendidikan Islam telah merumuskan tujuan pendidikan yang merangkum maksud-maksud hadist diatas. Rumusan tersebut yaitu sebagai berikut Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang didalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifaan, dan pewaris nabi. Rumusan tujuan hasil keputusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 11 Mei 1960 di Cipayung, Bogor; tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa, akhlak, serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam. Sehubungan dengan pernyataan tentang tujuan pendidikan yang mencangkup tiga hal diatas yakni bertakwa kepada Allah, beriman dan berilmu, dan juga berakhlak yang mulia terdapat sebuah firman Allah SWT yang mencangkup tiga hal tersebut yakni sebagai berikut Artinya Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Ayat ini menafikan kesamaan orang musyrik dengan orang-orang yang taat kepada allah; orang yang taat beribadah kepada Allah lebih beruntung dari pada orang-orang yang musyrik. Selain menafikan kesamaan orang musyrik dengan orang yang taat beribadah kepada-Nya, ayat ini juga menafikan kesamaan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu; ilmu semestinya dapat membangun pribadi yang menyadari akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah sehingga dia menjadi ulul al-bab. Keadaan ilmu mestilah berpengaruh terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku orang yang berilmu tersebut. Pengaruh inilah yang membuat diri yang berpredikat saleh, takwa, atau ulul al-bab. Ada tiga indikator yang menunjukan terbentuknya predikat tersebut. Atau dengan kata lain ada tiga indikator yang menunjukan bahwa telah terciptanya tujuan pendidikan pada peserta didik. Pertama qanitun ana al-layl sajidan wa qo’iman. Dia menjadi orang yang sangat taat dalam menjalankan ibadah walaupun dalam keadaan apapun tetap taat melaksanakan ibadah apa saja yang si perintahkan Allah dan Rasul-Nya. Kedua yahdar al-akhirah takut kepada azhab akhirat. Dia sangat berhati-hati dalam menjalankan kehidupannya jika suatu kegiatan yang sedang di hadapinya itu dapat merugikan dan mengorbankan kebahagiaannya di akhirat maka kegiatan itu langsung di tinggalkan. Ketiga yarju rahmata robbik mengharap rahmat Tuhannya. Orang yang saleh selalu mengharapkan rahmat-Nya jika kegiatan yang tidak ada manfaatnya atau tidak berorientasi kepada rahmat Allah tidak menjadi perhatiaannya bahkan dia menjauh dari kegiatan tersebut. Ketiga karakter diatas ini dapat pula membentuk pribadi yang sabar menerima cobaan dari Allah, baik cobaan dalam menghadapi musibah, dalam menghadapi maksiat, ataupun dalam ketaatan kepadanya, dimana kesabaran itu perpanjangan dari kesholehan dan ketakwaannya. Ayat diatas menggambarkan pula efek atau dapat dari kesalehan dan ketakwaan terhadap pribadi yang saleh, takwa, dan ulul albab tersebut, yaitu kebahagian didunia dan balasan diakhirat yang tiada terkira.
Pendidikansebagai salah satu kebutuhan dasar dalam hidup, memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang. Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna, dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
Origin is unreachable Error code 523 2023-06-16 090455 UTC What happened? The origin web server is not reachable. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Check your DNS Settings. A 523 error means that Cloudflare could not reach your host web server. The most common cause is that your DNS settings are incorrect. Please contact your hosting provider to confirm your origin IP and then make sure the correct IP is listed for your A record in your Cloudflare DNS Settings page. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d81e33b39571c9a • Your IP • Performance & security by Cloudflare
PENDIDIKANAGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI Satuan Pendidikan : SDN Percontohan Kelas / Semester : VI (Enam) / I (Ganjil) Tahun Pelajaran : 2022 / 2023 Pelajaran Kompetensi Inti (KI) Kompetensi Dasar (KD) 1 Indahnya Saling Menghormati A. Cara Membaca Q.S. Al-Kafirun B. Menulis Q.S. al-Kafirun C. Memahami makna Q.S. al-Kafirun KI - 1
Berikut ini adalah kumpulan Tanya-Jawab program diskusi WhatsApp Group Muslimah News ID Bertema “Menyoal Arah Pendidikan Indonesia” yang dipandu oleh Ustazah Noor Afeefa. Nadiem Terpilih, Ada Apakah? 1. Pertanyaan dari Tanti-Tegal Padahal mereka sudah mengetahui bahwa Nadiem tidak memiliki basic’ tentang pendidikan, bahkan dikatakan bahwa Nadiem akan belajar tentang pendidikan dari nol. Namun mengapa mereka memilih Nadiem sebagai Mendikbud? Apakah ada tujuan tertentu dari terpilihnya Nadiem sebagai Mendikbud? 2. Pertanyaan dari Rahmah-Tanjung Morawa Saat ini, kondisi negeri kita semakin meresahkan. Dengan diangkatnya para Menteri yang tidak tepat di bidangnya, meskipun edisi kabinet sebelumnya juga bukanlah orang-orang yang mampu mengurai masalah di negeri ini. Menurut Ustazah, apakah ada kemungkinan ke depannya pendidikan akan diarahkan kepada deradikalisasi? Mungkin link and match’ pula dengan Kemenag. Lalu, akan dibawa ke mana pula negeri ini? Jazakumullah khayr atas tanggapannya. 3. Pertanyaan dari Hikmah-Pasuruan Apa hubungan terpilihnya Nadiem dengan suksesi RI Jawaban dari Ustazah Noor Afeefa Kebijakan sebuah negara dalam hal ini penyusunan kabinet tidak pernah lepas dari konsep politik yang diadopsi. Sistem politik di Indonesia–meski mengemban demokrasi–hakikatnya memberikan kedaulatan dan kekuasaan bagi segelintir pihak, yaitu penguasa dan kroninya terutama pengusaha. Penguasa harus memastikan semua kebijakannya memuluskan jalan bagi terwujudnya kepentingan mereka. Karena itu dipilihnya Menteri Nadiem pastilah untuk kepentingan itu. Kesesuaian bidang bisa dicari-cari. Kepiawaian Nadiem dalam dunia teknologi informasi dan latar belakang bisnisnya dianggap nyambung dengan dunia pendidikan. Sebab, dianggap bisa memetakan SDM ke depan. Dipilihnya Nadiem dipastikan menjadi jalan lapang untuk memuluskan agenda liberalisasi bagi proyek-proyek ekonomi mereka. Sebab, pangsa pasar dunia pendidikan di Indonesia cukup tinggi baik sekolah, guru, dan siswa. Bahkan Indonesia menjadi negara keempat terbesar di dunia. Ini tentu tak bisa dilewatkan begitu saja. Bisa jadi, hadirnya Nadiem juga untuk menjadi contoh profil SDM yang pluralis tapi berhasil’. Sebagaimana diketahui istri Nadiem beragama Katholik. Maka generasi milenial diharapkan bisa bersikap toleran. Ini sejalan dengan misi deradikalisasi yang dicanangkan Presiden. Sementara, deradikalisasi juga merupakan misi untuk memuluskan agenda liberalisasi proyek ekonomi mereka. Sebab, yang paling lantang menentang proyek mereka adalah yang selama ini dicap radikal. Kehadiran Menteri yang juga pebisnis sukses dengan kepiawaian dibidang teknologi informasi ini juga akan memuluskan agenda Revolusi Industri Sebagaimana diketahui RI yang digagas Barat sejatinya adalah penjajahan gaya baru berkedok kemajuan teknologi. Indonesia menjadi salah satu pangsa pasar terbesar jualan teknologi tersebut. Bukan sebagai konsumen saja. Pendidikan berfungsi sebagai sarana untuk mencetak tenaga terdidik yang akan memenuhi pasar tenaga kerja bagi jualan teknologi yang mereka buat. Karenanya, pendidikan mengarah kepada link and match dengan dunia usaha dan industri. [MNews] Pendidikan Berorientasi Pekerjaan 4. Pertanyaan dari Ningsih-Jogja Siapa sebenarnya yang diuntungkan di balik kurikulum sistem pendidikan yang berorientasi materi sebagaimana ke depan sistem pendidikan di negeri ini? Mengingat di benak sebagian besar masyarakat menganggap belajar itu untuk mencari pekerjaan/berorientasi materi. Mohon tanggapannya Ustazah. 5. Pertanyaan dari Ira-Masohi Menyikapi proyek Mendikbud baru, apa yang harus kita lakukan agar masyarakat sadar bahwa pendidikan itu bukan sekadar mendapat ijazah dan bisa bekerja? Karena yang tertanam di kepala para orang tua adalah pendidikan yang sudah ditempuh harus dibayar dengan bekerja. Dan bagaimana menyadarkan para pelajar bahwa pendidikan yang ideal di dalam Islam bukan hanya untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus, tetapi terikat dengan aturan Islam dan memahami tujuan hidup itu juga penting? Jawaban dari Ustazah Noor Afeefa Tentang pendidikan yang berorientasi pekerjaan, maka inilah ciri pendidikan dalam sistem kapitalis. Konsep Knowledge Based Economy mengharuskan ilmu pendidikan menjadi dasar kunci bagi pertumbuhan keberhasilan ekonomi. Maka pendidikan harus diarahkan untuk kepentingan ekonomi, bukan semata-mata ilmu apalagi bagi pembentukan kepribadian karakter. Dengan konsep ini, maka tentu saja yang paling diuntungkan adalah para pengusaha pemilik modal. Dan inilah yang selama ini terjadi di Indonesia. Bahkan kriteria keberhasilan pendidikan–terutama pendidikan vokasi–hanya ditentukan oleh seberapa banyak lulusannya bisa diterima di dunia kerja. Program keterhubungan pendidikan dengan dunia usaha dan industri menunjukkan bahwa target pendidikan adalah bekerja. Bonus demografi memang menjadi problem jika mereka tidak memiliki ilmu dan keahlian. Pengangguran akan menjadi penyakit masyarakat. Namun, pengangguran tentu tidak semata-mata problem pendidikan. Ada problem politik, sosial, dan ekonomi. Dan sistem kapitalis itulah penyebab utama pengangguran. Jadi bukan aspek pendidikan saja. Di sisi lain, manusia membutuhkan pekerjaan, apalagi laki-laki. Bagi mereka mencari nafkah wajib hukumnya. Namun, pekerjaan sebenarnya hanya implikasi hasil alami dari proses pendidikan. Ia bukanlah tujuan pendidikan. Dan sangat berbahaya jika pendidikan ditujukan untuk bekerja. Pendidikan hakiki bertujuan menghasilkan manusia terdidik, bertambah baik bukan sekadar pintar apalagi sekadar bisa bekerja. Manusia cerdas dalam pandangan Islam adalah mereka yang memiliki ilmu. Dengan ilmunya mereka semakin takut dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jadilah orang yang cerdas itu orang yang bertakwa. Dengan ilmu dan kecerdasannya pula ia mampu mengelola bumi ini baik dengan tenaganya maupun hartanya sesuai aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah target pendidikan. Dalam sistem kapitalis, makna pendidikan telah pudar; keluar dari hakikatnya. Kesempitan hidup memaksa masyarakat meraih target pendidikan hanya sekadar urusan perut, yaitu pekerjaan atau mendapatkan materi. Semoga masyarakat kian memahami rusaknya sistem ini dan berusaha mewujudkan sistem Khilafah Islam. [MNews] Terjebak Pendidikan Sekuler 6. Pertanyaan dari Fattah UlJ-Solo Ustazah, di era pendidikan sekuler ini, bagaimana cara kita agar tidak terlalu terjebak oleh sistem pendidikan terutama untuk yang bersekolah di sekolah negeri? Syukron. 7. Pertanyaan dari Yuni-Ngawi Bagaimana sikap kita sebagai orang tua dalam menghadapi era pendidikan sekuler yang semakin jauh dari aturan Islam? Karena bukan hanya sekolah negeri saja, bahkan sekarang sekolah yang berbasis agama pun sudah tercemari dengan ide-ide sekuler, sehingga orang tua dibuat bingung dalam menentukan pendidikan putra putrinya. Jawaban dari Ustazah Noor Afeefa Di sekolah negeri saat ini memang minim pembentukan dan penguatan syakhsiyah kepribadian Islamnya. Demikian pula untuk pemahaman tsaqafah Islamnya. Inilah konsekuensi ketika sistem pendidikan tidak sesuai Islam. Hal yang paling mendasar dan penting dalam pendidikan justru diabaikan. Agar tidak terjebak dengan arah pendidikan sekuler, maka orang tua harus sangat berhati-hati dan memperhatikan perkembangan pendidikan anak-anaknya. Sering ditemui anak-anak mendapatkan pelajaran di sekolah yang tidak sesuai dengan akidah dan syariah Islam. Maka tugas orang tua untuk meluruskannya. Orang tua juga harus memberikan tambahan bimbingan kepada anak-anak, baik dilakukan secara sendiri-sendiri, maupun berjamaah dengan orang tua lain. Tambahan bimbingan pembinaan lebih dikhususkan berkaitan dengan pembentukan kepribadian pola pikir dan pola sikapnya agar sesuai Islam. Ini penting agar mereka memiliki dasar yang cukup untuk menyaring semua ilmu yang diterimanya di sekolah. Kemudian, orang tua juga harus menyadari pentingnya amar makruf nahi mungkar. Kemungkaran yang terjadi di depan mata, baik menyangkut dunia pendidikan maupun sistem sekuler kapitalis yang melahirkan dan melanggengkannya, harus terus dikoreksi agar sesuai dengan Islam. [MNews] Mewujudkan Pendidikan Tinggi yang Menyelaraskan Iptek dan Imtak 8. Pertanyaan dari Maratus Ririn-Surabaya Bagaimana Khilafah dapat mewujudkan pendidikan tinggi terbaik di dunia yang menyelaraskan antara penguasaan iptek dan pengamalan imtak? Jawaban dari Ustazah Noor Afeefa Sejarah kekhilafahan telah mencatat majunya ilmu pengetahuan melalui orang-orang bertakwa. Tercatat al Khawarizmi, al-Kindi, Jabir al-Hayyan, dan sebagainya. Suatu saat pun Khilafah Islam kelak dapat mewujudkan pendidikan tinggi terbaik dunia. Beberapa hal berikut yang menjadi faktor penentunya Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam sistem pendidikan. Hal ini karena Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menggunakan akalnya dalam memahami hakikat alam semesta. Pada akhirnya terdoronglah untuk melakukan berbagai pencapaian di bidang sains dan teknologi. Dengan dorongan akidah, mereka akan menjadi ilmuwan yang bertakwa. Kedua, negara Khilafah memberikan support penuh berupa anggaran hingga fasilitas untuk pengembangan ilmu dan teknologi. Ini berbeda dengan kondisi sekarang di mana negara minim perhatian, sehingga peta riset di berbagai pendidikan tinggi dikuasai korporasi dan hasil riset pun mereka kuasai. Ketiga, negara Khilafah bersungguh-sungguh memberikan pelayanan pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Saat mereka telah kuat akidah dan tsaqafah Islamnya di pendidikan dasar menengah, mereka tidak akan ragu lagi ketika mempelajari berbagai ilmu di pendidikan tinggi. Jadi, keberhasilan di pendidikan tinggi juga ditentukan oleh keberhasilan di pendidikan dasar menengahnya. Sistem pendidikan Islam dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh dari dasar hingga pendidikan tinggi. Keempat, negara Khilafah menerapkan sistem politik dan ekonomi sesuai syariat. Hal ini akan menjamin stabilitas politik dan ekonomi negara. Kondisi ini sangat mendorong keberhasilan pendidikan tinggi yang memadukan iptek dan takwa bagi kemajuan Islam dan kaum muslim. [MNews] Pendidikan Bagi Kaum Milenial 9. Pertanyaan dari Isti-Tanah Paser Sambutan kaum milenial terkait sistem pendidikan yang seakan cocok dengan kondisi terkini. Mohon penjelasan tantangan terbaru terkait hal ini Ustadzah. Jawaban dari Ustazah Noor Afeefa Inilah tantangan baru dakwah Islam. Kaum milenial harus dipahamkan tentang hakikat sebuah pendidikan. Bahwa pendidikan bukanlah bertujuan untuk bekerja. Pendidikan harus ditujukan untuk mendapatkan ilmu dan membentuk kepribadian Islami. Memang benar bahwa mereka harus memiliki ilmu agar bisa menghadapi era desrupsi. Namun, mereka tidak boleh kehilangan tolok ukur syariat tentang baik buruk dan benar salah. Maka, mendekatkan kaum milenial dengan ajaran Islam mutlak diperlukan. Inilah yang akan menyetir dan mengarahkan ke mana ilmu mereka berlabuh. Tolok ukur itu pula yang akan menyeleksi ilmu seperti apa yang perlu dipelajari dan dikembangkan, dan mana yang harus ditinggalkan. Saat ini standar itu telah kabur bahkan hilang. [MNews] Agar Diri Pengajar Bisa Maksimal 10. Pertanyaan dari Rifa-Bandung Ustazah, menyikapi bahwa dicanangkan program pendidikan yang 5 lima tahun ke depan akan dikelola oleh seorang pebisnis sehingga terbenakan bidang pendidikan hanya menjadi lahan bisnis. Bukankah memang sejak lama pendidikan di negeri +62 ini sudah kehilangan jati dirinya dalam mendidik dan mengajar? Bahkan mindset yang terbentuk atas dorongan sistem dan mungkin belum terbangun kesadaran para pengajar untuk memaksimalkan pengajaran di kelas, dalam artian saya menyaksikan sendiri dengan tidak mengurangi rasa simpati kepada para pengajar lainnya yang sempat berdemonstrasi, bukan hanya beberapa yang bisa dibilang makan gaji buta. Karena saya amati pendidikan saat ini hanyalah formalitas untuk sekadar mendapat STTB yang ujung-ujungnya untuk mendapatkan pekerjaan. Sebetulnya gerakan besar seperti apa yang harus dilakukan untuk mengefisienkan waktu agar tidak mubazir, tetapi ilmu dunia mereka dapat maksimal sehingga mereka juga punya waktu mencari ilmu akhirat? Jawaban dari Ustazah Noor Afeefa Semua insan pendidikan harus dipahamkan dengan sistem pendidikan Islam. Mereka bisa menerapkan sejauh yang bisa mereka lakukan secara pribadi. Misalnya, memberikan materi pembelajaran yang sesuai ajaran Islam atau menerapkan perilaku dan peraturan Islami di lingkungan pendidikan, seperti cara berpakaian syar’i, mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga harus memperjuangkan terwujudnya sistem tersebut. Yakni, dengan berdakwah kepada masyarakat tentang pentingnya sistem Khilafah yang akan menerapkan sistem pendidikan Islam. Mengoreksi penguasa juga menjadi bagian dari dakwah Islam. Namun, tuntutannya harus jelas, yakni menghendaki diterapkannya sistem pendidikan Islam dalam bingkai Khilafah. [MNews] Tantangan bagi Pengemban Dakwah di Tengah Pendidikan Sekuler 11. Pertanyaan dari Aulia Rahmah-Gresik Pada akhirnya negara yang mengambil pola pendidikan sekuler akan menganggap biasa kerusakan moral, karena pendidikan hanya dipandang sebagai jalan untuk mencari kepuasan yang hanya bersifat materi uang, kedudukan, dll.. Karena hal ini diemban oleh negara sehingga kaum muslimin pun tak menyadari bahwa pendidikan sekuler adalah sumber masalah dan terjangkiti pula oleh virus islamofobia. Bagaimana upaya kita agar tetap kuat menjadi pejuang tangguh di tengah gempuran fitnah yang skalanya tidak hanya nasional bahkan internasional? Jazakillah khoir atas jawabannya. 12. Pertanyaan dari Mulyani-Lampung Sekularisasi bangsa ini sudah dilakukan di semua lini, tak terkecuali di sektor pendidikan. Sementara ruang dan medan dakwah bagi partai ideologis semakin dipersempit dengan dibuatnya berbagai undang-undang undang dan aturan kufur. Bagaimana menyikapi hal ini? Sebagai ASN kita ingin tetap berdakwah Islam kaffah untuk memenuhi perintah dan menggapai rida Allah, namun tidak bisa dipungkiri ada sedikit kekhawatiran mengingat situasi dakwah saat ini. Jawaban dari Ustazah Noor Afeefa Pendidikan hanyalah satu dari sekian banyak kebijakan penguasa yang menyakiti rakyat dan menjauhkan kaum muslim dari agamanya. Oleh karenanya, seluruh umat harus menyadari problem ini dan memahami bagaimana solusinya dalam Islam. Para pengemban dakwah harus berjuang dengan sekuat tenaga mendakwahkannya ke tengah-tengah umat. Kesabaran memang harus selalu dikuatkan. Sebab, gempuran fitnah pasti selalu mengiringi. Mereka bukan saja diteror atas seruan kebenaran yang disampaikan. Mereka juga harus istikamah dalam menjalankan hukum syariat. Mendidik anak dengan cara sahih tentu tidak mudah dalam sistem sekuler kapitalis ini. Pengorbanan berlipat inilah yang akan membuahkan kebaikan di dunia dan akhirat kelak. Amal dakwah merupakan amal mulia karena menolong agama Allah. Maka pengemban dakwah adalah hamba Allah terbaik yang akan ditolong-Nya. “Wahai orang-orang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” TQS Muhammad [47] 7 Semoga hal ini menguatkan kita semua untuk terus berjuang menegakkan kebenaran demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. [MNews] Artikel pengantar diskusi bisa dibaca di sini Facebook Notice for EU! You need to login to view and post FB Comments!
Dengankata lain, tujuan diturunkannya Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik ruhani maupun jasmani, individual maupun sosial. Abu Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan (hukum) Islam, yakni: 1. Memelihara Agama (Hifdz Ad-Din) 2. Memelihara Jiwa (Hifdz An-Nafs) 3. Memelihara Akal (Hifdz Al'Aql) 4.
Setiap manusia yang hidup pasti membutuhkan pendidikan baik pendidikan formal ataupun informal. Pendidikan formal adalah proses belajar dan mencetak keahlian melalui lembaga formal dan dilakukan secara profesional. Sedangkan pendidikan informal, proses belajar tidak melulu harus melalui lembaga, melainkan dilakukan secara mandiri pun juga tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan atau data saja. Pendidikan juga berfungsi untuk membangun karakter, moralitas, kemampuan, dan keahlian tertentu pada seseorang. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan belajar, mengevaluasi proses hidupnya, dan memiliki kemampuan untuk bisa memenuhi hidup dan membangun islam, pendidikan juga sangat diutamakan. Proses menuntut ilmu dan belajar sudah diperintahkan oleh Allah sejak manusia mulai dari kecil hingga ia menuju ke liang lahat. Sebagaimana hadist Rasulullah “Carilah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat”.Pendidikan islam bukan hanya berkaitan dengan bagaimana orang mengenal agama dan fungsi agama, melainkan juga bisa mempraktekkan nilai-nilai dan panduan tersebut dengan baik dalam kehidupan diri, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan islam bermaksud untuk membangun pondasi agar segala bidang yang ada di masyarakat bisa terbangun secara baik, benar, dan tidak menyesatkan Mengenai Pendidikan dalam IslamDalam islam terdapat dalil-dalil yang berkenaan mengenai pendidikan islam. Hal ini sebagaimana Al-Quran dan Hadist banyak memperingatkan manusia untuk mencari ilmu dan mengembangkan pengetahuan agar bisa memberikan manfaat luas di masyarakat. Hal ini sebagaimana islam hadir sebagai rahmatan lil Al Quran Surat Al Mujadalah ayat 11 “Wahai orang-orang yang beriman!Apabila dikatakan kepadamu,”Berilah kelapangan didalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat” Dalam ayat tersebut Allah memberikan informasi kepada umat islam bahwa di dalam majelis yaitu tempat untuk menuntut ilmu ditinggikan beberapa derajat bagi yang juga mempersilahkan orang yang lain untuk ikut dalam majelis. Hal ini berarti menunjukkan bahwa majelis ilmu adalah suatu hal yang penting diikuti sehingga Allah menyuruh untuk memberikan tempat duduk kepada yang lain walau harus ayat yang lain berkenaan dengan proses belajar adalah dalam Al-Quran Surat Al-Alaq. Hal ini menunjukkan bahwa Allah menyuruh kepada manusia untuk Iqro atau membaca. Dalam hal ini membaca tidak dibatasi pada membaca teks, namun juga membaca realitas, keadaan sekitar, dan apa yang nampak untuk bisa menyadari kekuasaan Allah dan mau untuk tunduk pada itu, pendidikan, bukan hanya sekedar bagaimana orang belajar di bangku formal. Pendidikan juga berbicara membaca keadaan dan Hadist “Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah saw, bersabda Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim, memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya seperti orang yang mengalungi babi dengan permata, mutiara, atau emas” MajahDalam hadist di atas ditunjukkan bahwa untuk mencari ilmu adalah kewajiban dari setiap muslim. Mencari ilmu sama halnya sebagaimana muslim menjalani proses pendidikan. Pendidikan juga adalah kewajiban yang harus ditempuh oleh seorang ayat Al-Quran dan Hadist di atas, maka pendidikan dalam islam adalah suatu kewajiban terlebih hal yang berkaitan dengan islam-agama. Tidak ada satu alasan pun seorang muslim untuk melanggar kewajibannya dalam menuntut ilmu, melaksanakan Pendidikan Islam dengan yang LainPendidikan islam dengan pendidikan lainnya tentu memiliki perbedaan yang, walaupun secara umum tentunya pendidikan adalah proses untuk melakukan pembelajaran agar ada perubahan yang lebih baik dalam diri seseorang. Hal tersebut berakitan dengan skill, pola pikir, akhlak, atau masalah hidup lainnya. Berikut adalah hal-hal yang mendasar yang membedakan pendidikan islam dengan yang Ketauhidan ”Dan Ingatlah ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”. QS Luqman 13Ayat diatas adalah bagaimana proses Luqman ketika proses memberikan pendidikan pada anaknhya. Luqman mengajarkan anaknya untuk tidak mempersekutukan Allah dan melakukan kezaliman. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Luqman, yang merupakan teladan pendidikan dalam sejarah islam, mengedepankan Tauhid sebagai landasannya.“Dan sungguh, telah Kami Berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur kufur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji. Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami Perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tua-nya. lbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku Beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. QS 31 12-15Di ayat yang lain ini pula dijelaskan bahwa pendidikan pertama kali diawali dari orang tua dan keluarga. Seorang anak dididik dan dibesarkan pertama kali bukan dari lingkungan sekolah atau tempat bermainnya, melainkan dari orang tua. Untuk itu, pendidikan dari orang tua adalah hal yang cukup penting dan utama untuk untuk Mengabdi pada Allah ”Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” QS Adzariyat 54Allah menciptakan manusia semata-mata untuk mengabdi kepada Allah. Segala apa yang dilakukan di muka bumi berarti diorientasikan untuk bisa mengabdi sebaik-baiknya melaksanakan apa yang Allah juga penting dan sangat mempengaruhi cara kita untuk mengabdi kepada Allah. Tanpa pendidikan islam, manusia tidak akan banyak mengenal tentang islam, tentang Allah dan lain-lainnya termasuk mengenal aturan yang Allah proses belajar manusia akan mengenal Tuhan dan Ajaran dengan baik, sehingga bisa melaksanakannya dengan baik pula. Mustahil tanpa ilmu pengetahuan yang benar dan luas dapat benar-benar mengabdi, karena mengabdi pun butuh asumsi terlebih islam bertujuan untuk semakin mampu mengabdi kepada Allah. Sedangkan untuk pendidikan lainnya belum tentu bertujuan untuk hal tersebut, walaupun dalam hal teknis dan operasional bisa saja penerapannya ada yang sama dan berjalan Khalifah fil Ard, Membangun bukan Merusak Bumi “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. . . . ” QS Al-Baqarah 30 Manusia semata-mata diciptakan Allah untuk menjadi khalifah fil ard, yaitu pemimpin di muka bumi, untuk melaksanakan pembangunan di bumi bukan malah justru merusaknya. Untuk itu, dengan pendidikan islam tujuan utamanya adalah membentuk manusia membangun bumi di berbagai sektor-sektor yang ada mulai dari Politik, Sosial, Budaya, Ekonomi, Pendidikan, Hukum, Keamanan, IPTEK, tersebut tidak bisa terbangun jika tidak ada misi islam untuk mensejahterakan masyarakat, menegakkan keadilan, memberikan solusi, dengan prinsip islam yang rahmatan lil alamin. Sedangkan pendidikan lainnnya yang bukan pendidikan islam belum tentu mengorientasikan sebagaimana pendidikan islam orang-orang yang menganggap bahwa pendidikan hanya untuk gelar, formalitas, dan juga sebagai kebanggaan diri. Islam tidak pernah mengajarkan hal tersebut. Aspek terpenting dari pendidikan adalah sejauh apa ilmu yang kita miilki mampu memberikan perubahan di dilaksanakannya Pendidikan IslamPendidikan islam memiliki tujuan yang ingin dicapai, khususnya untuk umat islam sebagai pemeluknya. Tujuan ini tidak lepas dari dasar diciptakan manusia hidup dan tinggal di muka bumi. Begitupun tujuan pendidikan islam tidak lepas dari orientasi Allah menciptakan manusia sebagai hamba yang harus taat dan patuh pada Agama dan Tuhan dengan Baik dan Benar Pendidikan islam bertujuan juga untuk bisa mengenalkan islam dengan baik dan benar. Tanpa pendidikan islam, kita bisa salah memahami dan tersesat dari jalan yang seahrusnya. Pendidikan islam yang kental membuat seseorang lebih bisa memahami secara mendalam dan lebih memahami berbagai masalah hati gelisah menurut islam salah satunya adalah karena dalam hidupnya tidak ada pegangan hidup. Jika manusia tidak mengenal agama dan Tuhan dengan benar maka kegelisahan akan muncul karena ia tidak memiliki tempat bergantung dan berserah diri dalam hidupnya. Untuk itu ada banyak manfaat beriman kepada Allah SWT, salah satunya adalah mendapatkan tuntunan hidup yang benar di jalan Pondasi atau Dasar dalam kehidupan Agama adalah dasar atau pondasi dalam kehidupan manusia. Rukun Islam dan Rukun Iman adalah pondasi dari pendidikan Islam dan Pendidikan Akhlak. Pendidikan islam bertujuan untuk membangun, memperkukuh, dan memperkuat pondasi tersebut dalam kehidupan manusia. Pembangunan dan perawatan pondasi tidak bisa sekali saja dilakukan, namun terus sekali manusia yang pintar, namun karena minim pendidikan agama akhirnya tidak mampu menghadapi berbagai tantangan nilai kerusakan sosial di masyarakat. Salah satu contohnya manusia tersebut sulit menerima kenyataan ujian kesulitan hidup. Dalam pendidikan islam tentunya hal ini diajarkan bagaimana menghadapi musibah dalam islam, agar tidak terjerumus jurang yang lebih dalam apalagi berputus asa. Ada bahaya putus asa dalam islam, untuk itu akhlak islam mengajarkan untuk bisa bersabar dan ikhlas menghadapi Menerapkan agamanya dalam kehidupan dan berbagai sektor kehidupan Tujuan pendidikan islam bukan sekedar untuk menambah ilmu semata, tetapi mengenal agama, hukum Allah diberbagai bidang, dan sunnatullah kehidupan lainnya yang tidak tertulis di Al-Quran seluruhnya Ayat-Ayat Semesta, Kauliyah.Persoalan agama tidak melulu hanya sekedar persoalan ritual dan spiritual. Bidang bidang kehidupan seperti ekonomi, budaya, sosial, dan lainnya juga sangat berkaitan erat dengan agama. Dengan mengenal agama dengan baik dan benar maka kita bisa memahaminya dan menerapkannya di berbagai sektor perintah Agama adalah menerapkan agama di segala sektor kehidupan, kita sadari bahwa Indonesia tidak seluruhnya memiliki keyakinan yang sama. Untuk itu perlu adanya toleransi terhadap ummat lain. Bukan berarti membenarkan ajarannya, namun sekedar bertoleransi. Ada sangat banyak manfaat toleransi antar umat beragama yang bisa didapatkan. Salah satunya adalah Islam dikenal sebagai agama yang rahmatan lil alamin serta membawakan Diri atas Lingkungan Agama Dengan adanya pendidikan islam tujuannya juga bisa mendapatkan pengondisian budaya dan lingkungan yang berbasis islam. Di tengah masyarakat yang liberal dan hedonis maka tentunya kita membutuhkan pengondisan agama untuk bisa memperkukuh keimanan dan akhlak di zaman saat ini sudah muncul ciri-ciri akhir zaman yang membuat kita harus semakin mengokohkan pondasi agama dan memberikan pendidikannya pada anak-anak, keluarga, dan lingkungan yang bisa kita ikut tengah zaman yang mulai banyak ditanami nilai liberal dan hedonis, tentunya sering kali membawa stress dan kegelisahan bagi diri kita yang masih memegang teguh keimanan. Islam mendidik dan mengajarkan bagaimana cara agar hati tenang dalam islam juga cara menghilangkan stress dalam islam. Hal ini merupakan bagian dari pendidikan akhlak islam yang ditanamkan agar manusia bisa fokus menjalani kehidupan dan berbuat baik dengannya. Untuk itu islam pun juga mengajarkan untuk tidak bersikap sombong dan tidak ikhlas. Sifat sombong dalam islam dan ciri-ciri orang yang tidak ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT tentu harus dipahami dan dihindari agar tidak merusak akhlak kita Pendidikan Islam Menurut Tokoh LainnyaTokoh-tokoh lainnya memiliki pendapat mengenai tujuan pendidikan islam. Imam Al Ghazali dan Muhammad Quthub adalah tokoh yang mewakili sosok ulama islam yang berbicara mengenai masalah Imam Al Ghazaly Tujuan Pendidikan menurut imam Al Ghazaly adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan pangkat dan bermegah-megah, dan hendaklah seorang pelajar itu belajar bukan untuk menipu orang-orang bodoh atau bermegah-megahan. Pendidikan Islam menurut Al Ghazaly adalah untuk membentuk Pendidikan Muhammad Quthub Tujuan pendidikan menurut Muhammad Quthub adalah lebih penting dari pada pendidikannya. Menurut Quthb tujuan umum pendidikan adalah manusia yang Taqwa, itulah manusia yang baik Islam tidak bergantung kepada sarana yang ada, melainkan bergantung dari tujuannya. Sarana bisa berganti kapanpun namun tujuan pendidikan islam untuk mencapai ketaqwaan tetaplah sama
. 5b1iyh8k3b.pages.dev/2395b1iyh8k3b.pages.dev/5545b1iyh8k3b.pages.dev/1715b1iyh8k3b.pages.dev/2275b1iyh8k3b.pages.dev/4085b1iyh8k3b.pages.dev/7695b1iyh8k3b.pages.dev/6225b1iyh8k3b.pages.dev/3325b1iyh8k3b.pages.dev/1305b1iyh8k3b.pages.dev/8145b1iyh8k3b.pages.dev/1145b1iyh8k3b.pages.dev/3865b1iyh8k3b.pages.dev/65b1iyh8k3b.pages.dev/5315b1iyh8k3b.pages.dev/751
pertanyaan tentang tujuan pendidikan islam